SYAHADAT MUNJIN
Untuk menjadi orang
yang beriman tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Syahadatain, karena
masalah keimanan bukan masalah lahiriyah melainkan masalah hati atau
kejiwaan. Oleh karenanya didalam mengucapkan syahadatain harus pula
dijiwai dengan benar. Syahadatain yang dijiwai secara benar ini disebut
Syahadat Munjin.
Syahadat ini pulalah yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di akhirat..
Adapun yang dimaksud Syahadat Munjin adalah Syahadatain yang disertai dengan:
1. Ma'rifat, hati mengakui bahwa Alloh adalah tuhan dan Muhammad adalah utusan Alloh..
2. Idz-Dzian, hati menerima bertuhankan Alloh dan menerima kerasulan nabi Muhammad.
3. Qobul, hati menerima seluruh ajaran Alloh dan Rosulnya, sehingga menjadi pedoman hidup.
4. Lafadz,
materi kata yang diucapkannya harus bahasa arab, tidak dapat diganti
dengan bahasa yang lain sekalipun bahasa penggantinya sama maknanya.
1. Ma’rifat
Dalam mengucapkan Syahadatain harus disertai dengan hati yang ma’rifat.
Yakni yang disertai dengan :
1. Idrokun jazimun; meyakinkan dengan sangat pasti sehingga tidak ada keraguan bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad utusan Alloh.
2. Muwafiqun Lil Waqi’i; apa yang diyakinkininya sesuai dengan kenyataan.
Alloh yang diyakininya adalah Alloh yang sebagaimana disebutkan dalam ilmu tauhid, tidak beranak dan tidak pula diperanakan.
3. Nasyiun Andalilin;
meyakinkan kepada adanya Alloh disertai dengan argumentasi(dalil) yang
dapat mempertahankan keyakinannya. Baik itu dalil ‘aqli ataupun dalil
naqli.
Adapun yang harus dima’rifatkannya adalah :
1. Dzat Alloh dan sifat-sifatnya.
2. Dzat Rosul dan sifat-sifatnya.
3. Yang Mumkin di Alloh dan di Rosul.
4. Yang Wajib dan yang mustahil di Alloh dan di Rosul
2. Idz-Dzi’an
Untuk
dapat disebutkan seorang mu’min tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan
Syahadatain dan ma’rifat. Melainkan harus pula disertai dengan
pengakuan bahwa Alloh adalah tuhanku dan nabi Muhammad adalah rosulku.
Jadi apabila ada orang yang meyakinkan bahwa tiada tuhan selain Alloh
dan Muhammad adalah Rosul Alloh, tetapi tidak menerima ketuhanan kepada
Alloh dan tidak mengakui berRosul kepada nabi Muhammad. Dihadapan Alloh
tidak termasuk kepada orang yang beriman.
3. Qobul
Begitu
pula tidak termasuk kepada orang mumin. Orang yang tidak menerima
ajaran Alloh dan RosulNya, walaupun telah Marifat dan Idz-Dzi’an tetapi
apabila hatinya tidak menerima ajaran Alloh dan RosulNya, sekalipun dia
melaksanakan ajaran Alloh dan RosulNya.
Sebagai bukti bahwa dia telah Qobul harus berani mengikrarkan :
رضيت بالله ربا وبالاسلام دينا وبمحمد نبيا ورسولا وبالقرانااماما وبالمومنين اخوانا
Artinya:
Aku
ridho (mengakui dan menerima) kepada Alloh aku bertuhan, dan Islam
sebagai agamaku, dan kepada nabi Muhammad aku bernabi dan berosul dan
kepada AlQur’an berpedoman dan kepada orang-orang mukmin aku bersaudara.
Orang yang Marifat, Idz-Dzi’an, Qobul dan mengucapkan Syahadatain, tetapi tidak melaksanakan ajaran-ajaran Islam, namanya Mu’min Fasiq.
Orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam seperti Sholat, puasa dan
sebagainya, tetapi hatinya tidak Ma’rifat, Idz-Dzi’an dan Qobul, namanya
Kafir Munafiq.
TINGKATAN IMAN
Sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran dan Al-Hadist bahwa Iman seseorang itu kadang
bertambah kadang berkurang. Maka para Ulama mengevaluasikan iman
tersebut dengan lima tingkatan sebagai berikut:
1. Iman Taqlid;
yaitu imannya orang yang tidak beralasan, tidak mempunyai
dalil/argumentasi, hanya mengikuti orang lain, tetapi hatinya yakin dan
jazim kepada adanya Alloh.
2. Iman Ilmu;
yaitu imannya seorang mukallaf yang telah mengetahui dalil yang benar,
namun belum menjiwai keimanannya, sehingga ahluttashauf memberi nama
“Mahjubun”
3. Iman Iyan; yaitu imannya
seseorang yang disertai Ma’rifat dan Tashdiq, yang menjiwai sifat sam’a
bashorNya Alloh sehingga jiwanya selalu meraa didengar Alloh dan berdiam
di maqom Moroqobah.
4. Iman Haqiqot; yaitu
imanya seseorang yang mempunyai jiwa yang mendalam. Hatinya mampu
menerobos ke maqom musyahadah, yang apabila melihat makhluk hatinya
tidak pada yang dilihatnya melainkan ingat kepada yang menciptakannya.
Tingkatan ini ini disebut pula Iman Haqqul Yaqin yang kontaknya dengan
sifat Qudrot Alloh.
5. Iman Haqiqotul Haqiqot; yaitu imannya para Rosul. Hal ini ahli Ushul tidak memberikan ta’rif.
Selasa, 20 Mei 2014
Selasa, 06 Mei 2014
SOEKARNO AGEN 007 JAMES BOND INDONESIA
Nikita
Khruschev, pemimpin tertinggi Uni Soviet sebelum Leonid Brezhnev, menulis
dalam buku hariannya: “Presiden Soekarno sangat cerdas, sekaligus punya otak.
Berbeda dengan pemimpin dunia lainnya, yang cerdas tapi tidak punya otak, meski
kalau punya otak, tidak cerdas.”
Kunjungan Nikita Khruschev di penghujung 1959-an itu, mendapat kunjungan balasan dari Presiden Soekarno. Sepulang dari Moskow, Soekarno memerintahkan pembangunan MONAS dan Stadion Senayan, padahal negara sedang pailit dan rakyat dilanda kelaparan. Konon Soekarno terinspirasi oleh stadion Moskow yang gagah itu. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi saat Presiden Soekarno berada di Moskow?
Sudah menjadi kebiasaan bahwa departemen psikologi KGB sangat antusias mengamati tingkah-laku raja-raja dan para Presiden di seluruh dunia. Bagi KGB, Presiden Soekarno sangat mudah ditaklukkan. Soekarno punya kelemahan fatal, yaitu sangat menggemari wanita.
Soekarno tahu wanita-wanita mana yang mampu memberikan kepuasan dahsyat di ranjang.
Sekali Soekarno merayu, maka sang wanita akan menjadi kekasihnya. Dewi Soekarno seorang pelacur kelas tinggi dari Jepang, memberikan pengakuan sebagai berikut: “...Bapak adalah pria paling perkasa. Dari sekian banyak pria, hanya Soekarno-lah yang paling hebat di tempat tidur.”
KGB menyediakan kamar khusus untuk Soekarno di Moskow. Soekarno ditemani oleh seorang wanita super cantik dan super seksi yang boleh digaulinya di tempat tidur. Wanita itu adalah seorang pelacur kelas tinggi yang khusus untuk melayani tamu negara, direkrut sebagai agen rahasia oleh departemen pelacuran dalam organisasi KGB. Dari balik kaca atau cermin, terpasang kamera film yang merekam hubungan badan antara Presiden Soekarno dengan seorang pelacur (agen KGB).
Presiden Soekarno diajak bersama-sama untuk menonton film tersebut. Agen KGB itu memberitahukan bahwa semua ini sudah diatur. Mereka memiliki ribuan pelacur yang terlatih. Rekaman ini bisa diedarkan dan diputar di depan bangsa Indonesia agar Presiden Soekarno jatuh martabatnya. Tapi kalau bendera komunisme dan ajaran Marxisme terus berkibar dan berkembang di Indonesia, rekaman tersebut akan dumusnahkan. Mereka punya beberapa copy dan siap diedarkan di bagian dunia manapun.
Akhirnya Soekarno mengizinkan PKI berkibar di Indonesia dengan konsep Nasakom. Ini yang ditolak oleh Sumatera Barat. Rakyat Sumatera Barat berontak melawan Soekarno. Amerika Serikat lewat CIA mendukung Sumatera Barat (waktu itu disebut Sumatera Tengah) dan memberikan AC (Air Cannon) secara gratis.
Air Cannon adalah meriam anti pesawat terbang buatan Amerika yang sangat mutakhir kala itu, diberikan dengan cara dijatuhkan dengan parasut dari pesawat terbang.
Ahmad Yani menyusun strategi untuk meredam pemberontakan Sumatera Barat di sebuah hotel di Muara Padang bersama tiga rekannya, dan menghujani kota Padang dengan bom-bom kelas berat dari laut. Seluruh kota bergetar. Sumatera Barat akhirnya menyerah kalah, karena Amerika menghentikan suplai senjata dan beralih membantu pasukan Ahmad Yani yang sangat kuat.
Di Indonesia, KGB dan CIA punya peranan yang aktif dan berbahaya. Rakyat Sumatera Barat dijadikan eksperimen negara-negara besar yang haus darah. Sejarah itu gila!
Salah satu departemen KGB yang ampuh adalah Dezynformatsiya atau Disinformasi, bertujuan memberikan informasi sesat untuk mengadu domba. KGB memberikan sebuah dokumen palsu yang berisi perbuatan tercela Amerika di Indonesia, sehingga Jakarta menjadi panas membara dan rusuh. KGB terkejut melihat hasilnya, karena semula hanya ingin menyentil, tapi malah menimbulkan perasaan anti-Amerika yang hebat dan kekacauan yang hebat pula. “Missi kita melebihi target,” kata Moskow gembira.
Dari sekian juta kegiatan mata-mata, KGB sempat juga merekrut mahasiswa Indonesia untuk menjadi mata-mata di Jepang. Namanya Maba Odantara. Ini rahasia KGB, tidak terungkap di Indonesia.
Kunjungan Nikita Khruschev di penghujung 1959-an itu, mendapat kunjungan balasan dari Presiden Soekarno. Sepulang dari Moskow, Soekarno memerintahkan pembangunan MONAS dan Stadion Senayan, padahal negara sedang pailit dan rakyat dilanda kelaparan. Konon Soekarno terinspirasi oleh stadion Moskow yang gagah itu. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi saat Presiden Soekarno berada di Moskow?
Sudah menjadi kebiasaan bahwa departemen psikologi KGB sangat antusias mengamati tingkah-laku raja-raja dan para Presiden di seluruh dunia. Bagi KGB, Presiden Soekarno sangat mudah ditaklukkan. Soekarno punya kelemahan fatal, yaitu sangat menggemari wanita.
Soekarno tahu wanita-wanita mana yang mampu memberikan kepuasan dahsyat di ranjang.
Sekali Soekarno merayu, maka sang wanita akan menjadi kekasihnya. Dewi Soekarno seorang pelacur kelas tinggi dari Jepang, memberikan pengakuan sebagai berikut: “...Bapak adalah pria paling perkasa. Dari sekian banyak pria, hanya Soekarno-lah yang paling hebat di tempat tidur.”
KGB menyediakan kamar khusus untuk Soekarno di Moskow. Soekarno ditemani oleh seorang wanita super cantik dan super seksi yang boleh digaulinya di tempat tidur. Wanita itu adalah seorang pelacur kelas tinggi yang khusus untuk melayani tamu negara, direkrut sebagai agen rahasia oleh departemen pelacuran dalam organisasi KGB. Dari balik kaca atau cermin, terpasang kamera film yang merekam hubungan badan antara Presiden Soekarno dengan seorang pelacur (agen KGB).
Presiden Soekarno diajak bersama-sama untuk menonton film tersebut. Agen KGB itu memberitahukan bahwa semua ini sudah diatur. Mereka memiliki ribuan pelacur yang terlatih. Rekaman ini bisa diedarkan dan diputar di depan bangsa Indonesia agar Presiden Soekarno jatuh martabatnya. Tapi kalau bendera komunisme dan ajaran Marxisme terus berkibar dan berkembang di Indonesia, rekaman tersebut akan dumusnahkan. Mereka punya beberapa copy dan siap diedarkan di bagian dunia manapun.
Akhirnya Soekarno mengizinkan PKI berkibar di Indonesia dengan konsep Nasakom. Ini yang ditolak oleh Sumatera Barat. Rakyat Sumatera Barat berontak melawan Soekarno. Amerika Serikat lewat CIA mendukung Sumatera Barat (waktu itu disebut Sumatera Tengah) dan memberikan AC (Air Cannon) secara gratis.
Air Cannon adalah meriam anti pesawat terbang buatan Amerika yang sangat mutakhir kala itu, diberikan dengan cara dijatuhkan dengan parasut dari pesawat terbang.
Ahmad Yani menyusun strategi untuk meredam pemberontakan Sumatera Barat di sebuah hotel di Muara Padang bersama tiga rekannya, dan menghujani kota Padang dengan bom-bom kelas berat dari laut. Seluruh kota bergetar. Sumatera Barat akhirnya menyerah kalah, karena Amerika menghentikan suplai senjata dan beralih membantu pasukan Ahmad Yani yang sangat kuat.
Di Indonesia, KGB dan CIA punya peranan yang aktif dan berbahaya. Rakyat Sumatera Barat dijadikan eksperimen negara-negara besar yang haus darah. Sejarah itu gila!
Salah satu departemen KGB yang ampuh adalah Dezynformatsiya atau Disinformasi, bertujuan memberikan informasi sesat untuk mengadu domba. KGB memberikan sebuah dokumen palsu yang berisi perbuatan tercela Amerika di Indonesia, sehingga Jakarta menjadi panas membara dan rusuh. KGB terkejut melihat hasilnya, karena semula hanya ingin menyentil, tapi malah menimbulkan perasaan anti-Amerika yang hebat dan kekacauan yang hebat pula. “Missi kita melebihi target,” kata Moskow gembira.
Dari sekian juta kegiatan mata-mata, KGB sempat juga merekrut mahasiswa Indonesia untuk menjadi mata-mata di Jepang. Namanya Maba Odantara. Ini rahasia KGB, tidak terungkap di Indonesia.
Sejarah Penghianatan founding fathers terhadap bangsa Indonesia
Sebelum ada TNI, sejak pra kemerdekaan hingga kemerdekaan,
komponen-komponen pejuang terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu Hisbullah, Peta
(Pembela Tanah Air) dan Laskar-laskar.
Milisi Hisbullah merupakan campuran berbagai ormas Islam seperti Muhammadiyah, Masyumi, Syarikat Islam, dan NU.
Sedangkan milisi Peta (Pembela Tanah Air) mayoritasnya berasal dari Muhammadiyah, dimana Jenderal Besar Sudirman merupakan salah satu tokohnya.
Yang dimaksud dengan laskar-laskar, terdiri dari berbagai laskar seperti laskar minyak, laskar listrik, laskar pesindu, laskar pemuda sosialis dan laskar Kristen.
Umat Islam dan TNI
Laskar pemuda sosialis dan laskar kristen adalah minoritas. Sedangkan laskar minyak, listrik dan sejenisnya berasal dari komunitas sejenis bajing loncat yang insyaf dan membentuk kekuatan rakyat dan bergabung dengan Laskar mayoritas Hisbullah.
Pada 1946 terbentuk TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) yang berasal dari ketiga komponen tersebut, dan Hisbullah merupakan unsur yang paling banyak (mayoritas).
Pada 1947, TKR menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), di bawah pimpinan Panglima Besar Sudirman yang berasal dari Peta. Sebagai wakilnya adalah Urip Sumoharjo seorang mantan tentara KNIL (tentara Belanda) yang beragama Kristen.
Sejak saat itulah terjadi ketidak-adilan, dimana minoritas menguasai mayoritas di tubuh (embrio) TNI. Kelak, para pejuang sejati dari Hisbullah dan peta (terutama Hisbullah) digusur oleh mantan tentara KNIL. Selain Urip Sumohardjo (mantan KNIL beragama Kristen), mantan KNIL lainnya adalah Gatot Soebroto (Budha), Soeharto (Kejawen), dan A.H. Nasution (nasionalis sekuler yang keberislamannya tumbuh setelah digusur Soeharto).
Tentara KNIL adalah tentara Belanda yang memerangi tentara rakyat Indonesia yang ketika itu sedang berusaha menggapai kemerdekaan. Tentara KNIL adalah pengkhianat bangsa. Namun ketika Indonesia merdeka, merekalah yang merebut banyak posisi di tubuh institusi tentara (TNI). Sedangkan pejuang sejati terutama yang tergabung dalam Hisbullah disingkirkan begitu saja.
Terbukti kemudian, ketika para pengkhianat itu memimpin bangsa , kehidupan kita menjadi penuh musibah. Soekarno, ketika rakyat bersusah payah mengusir penjajah, ia justru membuat perjanjian damai dengan Belanda. Sedangkan anak angkat Gatot Soebroto termasuk salah seorang tokoh pemegang HPH yang menggunduli hutan kita.
Kahar Muzakar dan Kartosoewirjo
Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi) dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk menghimpun kekuatan rakyat. Saat itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang berpusat di Banjarmasin. Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang berpusat di Bali.
Milisi Hisbullah merupakan campuran berbagai ormas Islam seperti Muhammadiyah, Masyumi, Syarikat Islam, dan NU.
Sedangkan milisi Peta (Pembela Tanah Air) mayoritasnya berasal dari Muhammadiyah, dimana Jenderal Besar Sudirman merupakan salah satu tokohnya.
Yang dimaksud dengan laskar-laskar, terdiri dari berbagai laskar seperti laskar minyak, laskar listrik, laskar pesindu, laskar pemuda sosialis dan laskar Kristen.
Umat Islam dan TNI
Laskar pemuda sosialis dan laskar kristen adalah minoritas. Sedangkan laskar minyak, listrik dan sejenisnya berasal dari komunitas sejenis bajing loncat yang insyaf dan membentuk kekuatan rakyat dan bergabung dengan Laskar mayoritas Hisbullah.
Pada 1946 terbentuk TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) yang berasal dari ketiga komponen tersebut, dan Hisbullah merupakan unsur yang paling banyak (mayoritas).
Pada 1947, TKR menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), di bawah pimpinan Panglima Besar Sudirman yang berasal dari Peta. Sebagai wakilnya adalah Urip Sumoharjo seorang mantan tentara KNIL (tentara Belanda) yang beragama Kristen.
Sejak saat itulah terjadi ketidak-adilan, dimana minoritas menguasai mayoritas di tubuh (embrio) TNI. Kelak, para pejuang sejati dari Hisbullah dan peta (terutama Hisbullah) digusur oleh mantan tentara KNIL. Selain Urip Sumohardjo (mantan KNIL beragama Kristen), mantan KNIL lainnya adalah Gatot Soebroto (Budha), Soeharto (Kejawen), dan A.H. Nasution (nasionalis sekuler yang keberislamannya tumbuh setelah digusur Soeharto).
Tentara KNIL adalah tentara Belanda yang memerangi tentara rakyat Indonesia yang ketika itu sedang berusaha menggapai kemerdekaan. Tentara KNIL adalah pengkhianat bangsa. Namun ketika Indonesia merdeka, merekalah yang merebut banyak posisi di tubuh institusi tentara (TNI). Sedangkan pejuang sejati terutama yang tergabung dalam Hisbullah disingkirkan begitu saja.
Terbukti kemudian, ketika para pengkhianat itu memimpin bangsa , kehidupan kita menjadi penuh musibah. Soekarno, ketika rakyat bersusah payah mengusir penjajah, ia justru membuat perjanjian damai dengan Belanda. Sedangkan anak angkat Gatot Soebroto termasuk salah seorang tokoh pemegang HPH yang menggunduli hutan kita.
Kahar Muzakar dan Kartosoewirjo
Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi) dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk menghimpun kekuatan rakyat. Saat itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang berpusat di Banjarmasin. Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang berpusat di Bali.
Sedangkan Kartosoewirjo
adalah Panglima Hisbullah Jawa Barat. Ia terus berjuang melawan
penjajah Belanda.
Pada 17 Januari tahun 1948, ketika
terjadi Perjanjian Renville (di atas kapal Renville) daerah yang dikuasi
rakyat Indonesai semakin kecil, karena daerah inclave harus dikosongkan.
Kartosoewirjo tidak mau mengosongkan Jawa Barat, maka timbullah pemberontakan
Kartosoewirjo tahun 1948 melawan Belanda.
Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi mantan tentara KNIL yang sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka baru saja kembali dari Yogyakarta.
Kartosoewirjo yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Jawa Barat karena dia adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati pada 1962.
Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo, tuduhan pemberontak kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan fakta sejarah.
"Menurut kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil berjudul HIMBAUAN, dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan Sabilillah, menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai pelaksanaan isi perjanjian Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani mengusir penjajah dari wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana adalah atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat dan merasa lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut dengan berkuah darah dari tangan penjajah oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak dicapai kesepakatan, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan tentara republik tersebut…" (Lihat Buku "FAKTA Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam", 1998, hal. xviii).
Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar: "Kesaksian almarhum ayah saudara itu, persis seperti kesaksian Haji Agoes Salim yang disampaikan di Cornell University Amerika Serikat, tahun 1953. Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis sekarang…"
Pada buku berjudul "Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo" (Juli 1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus AN menuliskan sebagai berikut:
"…Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus 'hijrah' dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia. Waktu itu Jenderal Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta. Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu…."
"…Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman: 'Apakah siasat ini tidak merugikan kita?' Pak Dirman menjawab, 'Saya telah menempatkan orang kita disana', seperti apa yang diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.
"…Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul 'Himbauan', yang ditulis beliau pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat restu dari Panglima Besar Sudirman…"
"…Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut.
Dikatakan dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di atas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud 'orang kita' atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI /TII; dan yang menumpasnya adalah Jenderal AH Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan dosa…?"
Terbentuknya Kodam-kodam
Tahun 1950, TRI mereorganisasi membentuk divisi-divisi dalam bentuk TT (Tentara Teritorium yang merupakan embrio Kodam. Ini merupakan awal daripada AD (Angkatan Darat) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) berkuasa menguasai TRI melalui kodam-kodam (divisi-divisi).
Kala itu provinsi di Ind masih terdiri dari
1. Kalimantan, dengan ibukota Banjarmasin
2. Sulawesi,dengan ibukota Makassar
3. Sumatera Selatan, dengan ibukota Palembang
4. Sumatera Tengah, dengan ibukota Padang
5. Aceh, dengan ibukota Banda Aceh
6. Sunda Kecil (Bali, NTT, NTB), dengan ibukota Singaraja.
Pada Desember 1950 terjadi pengakuan kedaulatan RI. Dua bulan kemudian Jen. Sudirman meninggal, kepemimpinannya dilanjutkan oleh Urip Sumohardjo mantan tentara KNIL beragama Kristen. Sementara itu, Panglima Divisi Sulawesi, Kahar Muzakar yang ditugaskan ke Yogya utk menghimpun kekuatan rakyat di tahun 1946, jabatannya sebagai Panglima Divisi Sulawesi diisi oleh Gatot Subroto mantan KNIL beragama Budha yang anti Hisbullah.
Terjadi konflik antara Kahar dengan Gatot Subroto, sehingga diciptakan situasi yang merugikan/merusak citra Kahar (putra daerah), akibatnya Kahar melawan ketidakdilan dan ketidak benaran yang dihembuskan Gatot Subroto.
Tahun 59/60 Kahar dinyatakan terbunuh dalam pertempuran, tetapi jenazahnya tidak ditemukan. M. Jusuf pernah dikirim melawan Kahar, mengalami kekalahan namun bisa selamat kembali ke Jakarta.
Tidak semua divisi mengalami pergolakan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar menjadi Panglima KRJT (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas). Institusi ini di bawah Panglima Divisi kalimantan yang panglimanya adalah Hasan Basri. Sedangkan Divisi Jawa Timur panglimanya adalah Jen. Sudirman (sebelum meninggal dunia).
Ketidak-adilan di dalam tubuh TRI semakin terasa ketika orang-orang dari Sulut yang beragama Kristen (dan mantan tentara KNIL) banyak menduduki jabatan penting, antara lain Kol. Kawilarang (menjabat panglima divisi Siliwangi), Kol. Ventje Sumual, dan sebagainya.
Apalagi kemudian AD memegang kendali pemerintahan, setelah Soekarno tumbang. Soeharto yang mantan KNIL dan penganut Kejawen, kemudian mengawali pemerintahannya dengan rasa benci yang mendalam terhadap Islam.
Sebelum era Benny Moerdani, Soeharto menempatkan orang-orangnya seperti Panggabean, Soedomo dan Ali Moertopo yang dengan baik memenuhi kemauan Soeharto.
Ali Moertopo sukses dengan proyek Komando Jihad. Kemudian Soedomo juga sukses dengan Kopkamtibnya "ngegebukin" umat Islam. Benny Moerdani sukses dengan proyek Imran/Woyla dan Tanjung Priok. Try Soetrisno sukses dengan proyek Lampung dan DOM Aceh, juga beberapa kasus seperti Haur Koneng, dan sebagainya.
Jenderal M. Jusuf (orang Makasar) sempat didudukkan sebagai Pangab, sebelum Benny. Ketika itu tekanan terhadap Islam agak mereda, perlakuan ala binatang terhadap Tapol dan Napol Islam, agak berkurang ketika Yusuf menjadi Pangab. Kesejahteraan prajurit pun membaik. Namun tidak banyak yang bisa ia lakukan. Meski dari Makasar ternyata Yusuf tidak semilitan Katholik abangan seperti Benny.
Di masa Benny, betapa sulitnya mendapatkan perwira Muslim yang menjabat Komandan Kodim. Semuanya Kristen, hanya satu-dua saja yang Budha atau Hindu. Pada umumnya Dandim adalah perwira Kopassandha (kini Kopassus). Untuk menjadi perwira Kopassandha, rangkaian testing dilakukan hari Jumat, sehingga prajurit yang masih loyal kepada agamanya, tidak bisa ikut test. Akibatnya, dari puluhan perwira Kopassandha kala itu, hanya satu yang Islam (abangan), dan satu Hindu atau Budha.
Penyingkiran secara sistematis ini sudah berlangsung sejak Panggabean, yang meneruskan tradisi Urip Soemohardjo dan Gatot Soebroto, sejak awal kemerdekaan terutama sejak wafatnya Jen. Soedirman.
Namun demikian untuk menghindarkan kesan diskriminatif, Benny merekrut juga pemuda-pemuda Islam menjadi tentara (bukan perwira Kopassandha). Tapi yang ia pilih yang tolol-tolol. Kalau ada pemuda Islam dari keluarga baik-baik (militan) kemudian cerdas, pasti dinyatakan tidak lulus testing dengan berbagai macam alasan.
Pemuda Islam tolol yang direkrut jadi tentara sebagian besar dikirim ke Timor Timur untuk menyetorkan nyawa. Ada diantara mereka yang selamat, seperti Ratono yang pernah terlibat kasus Priok. Ratono sampai kini masih hidup semata-mata karena keberuntungan, atau setidaknya Allah jadikan ia sebagai saksi hidup kebiadaban Benny dan para pendahulunya.
Tahun 1988 perseteruan Benny - Soeharto meruncing, terutama setelah rencana kudeta yang gagal dari Benny cs terhadap Soeharto, yang berakibat dicopotnya Benny dari jabatan Pangab dan digantikan Try.
Ketika Try menjabat Pangab (1989), Benny Moerdani kemudian menjabat Menhankam. Anehnya, Try masih melapor kepada Benny, padahal seharusnya ke presiden sebagai Pangti. Termasuk, laporan intelijen (ketika itu BAIS masih di bawah Pangab) Try Soetrisno selalu meneruskannya ke Benny.
Tahun 1992 Try dipensiunkan dan menduduki kursi Wapres berkat usaha gigih kalangan AD. Ketika itu sebenarnya Soeharto lebih condong ke Habibie, namun berkat fait accomply Harsudiono Hartas yang ketika itu menjabat Kassospol ABRI, akhirnya Try-lah yang baik mendampingi Soeharto selama lima tahun (hingga 1997).
Kursi Pangab kemudian diisi Eddy Sudrajat. Di masa Eddy inilah tekanan terhadap ummat Islam yang gencar dilakukan sejak Benny dan Try menjadi Pangab, agak mengendor. Bahkan kemudian di Mabes berdiri mesjid, sehingga para perwira dan prajurit bisa shalat Jum'at di Mabes.
Pada masa itu, Eddy Sudrajat sempat menjabat tiga jabatan sekaligus. Selain masih menjabat KASAD dan Panglima ABRI ia pun dilantik sebagai Menhankam. Semua jabatan itu satu per satu dilepaskan, kecuali Menhankam. Jabatan KASAD dilimpahkan ke Wismojo dan Panglima ABRI kepada Feisal Tanjung.
Di masa Feisal Tanjung, ummat Islam bisa bernafas lega. Tapol dan Napol banyak yang dibebaskan, meski masih terkesan takut-takut. Bahaya ekstrim kanan yang selalu dihembuskan sejak dulu, sirna dengan sendirinya. Bahkan, lulusan pesantren bisa masuk AKABRI ya cuma di masa Feisal Tanjung.
Sayangnya Feisal bersama Syarwan Hamid dituduh terlibat kasus 27 Juli, yang sebagian besar korbannya ya ummat Islam juga. Pada masa inilah muncul istilah ABRI hijau dengan konotasi negatif.
Setelah Feisal, Wiranto mendapat giliran menjadi Pangab. Wiranto semula adalah kader Benny. Karenanya, ketika ia naik menjadi KASAD kemudian Pangab, banyak juga yang waswas. Ketika Wiranto menjadi KASAD, perwira Muslim di lingkungan KASAD digeser dan digantikan dengan Hindu atau Budha.
Untung ada Prabowo. Sebenarnya Prabowo juga kader Benny, bahkan sejak ia masih Letnan. Namun akhirnya Prabowo melihat ketidak-adilan yang dibuat Benny, dan ia memberontak, sehingga jadilah Prabowo sebagai musuh nomor satu Benny. Kalau tidak ada Prabowo, mungkin sampai kini tidak ada yang bisa menjadi musuh Benny. Selain karena ia menantu Presiden, Prabowo juga banyak uang sehingga bisa menetralisir pengaruh "orang-orang Benny" di tubuh ABRI.
Meski Bowo jarang shalat, ia tetap saja dikategorikan sebagai ABRI hijau, mungkin karena keberpihakannya. Berkat tekanan dari Prabowo dkk akhirnya Wiranto tak berkutik. Bahkan belakangan ia ikut-ikutan menjadi ABRI hijau. Sebuah pilihan yang pragmatis.
Wiranto akhirnya bisa juga berteman dengan Abdul
Qadir Djaelani, dan sebagainya. Dari sinilah lahir istilah aneh-aneh,
seperti Pam Swakarsa, dan sebagainya, yang kesemuanya itu
cuma membuat malu umat Islam. Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi mantan tentara KNIL yang sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka baru saja kembali dari Yogyakarta.
Kartosoewirjo yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Jawa Barat karena dia adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati pada 1962.
Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo, tuduhan pemberontak kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan fakta sejarah.
"Menurut kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil berjudul HIMBAUAN, dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan Sabilillah, menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai pelaksanaan isi perjanjian Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani mengusir penjajah dari wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana adalah atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat dan merasa lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut dengan berkuah darah dari tangan penjajah oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak dicapai kesepakatan, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan tentara republik tersebut…" (Lihat Buku "FAKTA Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam", 1998, hal. xviii).
Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar: "Kesaksian almarhum ayah saudara itu, persis seperti kesaksian Haji Agoes Salim yang disampaikan di Cornell University Amerika Serikat, tahun 1953. Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis sekarang…"
Pada buku berjudul "Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo" (Juli 1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus AN menuliskan sebagai berikut:
"…Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus 'hijrah' dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia. Waktu itu Jenderal Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta. Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu…."
"…Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman: 'Apakah siasat ini tidak merugikan kita?' Pak Dirman menjawab, 'Saya telah menempatkan orang kita disana', seperti apa yang diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.
"…Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul 'Himbauan', yang ditulis beliau pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat restu dari Panglima Besar Sudirman…"
"…Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut.
Dikatakan dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di atas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud 'orang kita' atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI /TII; dan yang menumpasnya adalah Jenderal AH Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan dosa…?"
Terbentuknya Kodam-kodam
Tahun 1950, TRI mereorganisasi membentuk divisi-divisi dalam bentuk TT (Tentara Teritorium yang merupakan embrio Kodam. Ini merupakan awal daripada AD (Angkatan Darat) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) berkuasa menguasai TRI melalui kodam-kodam (divisi-divisi).
Kala itu provinsi di Ind masih terdiri dari
1. Kalimantan, dengan ibukota Banjarmasin
2. Sulawesi,dengan ibukota Makassar
3. Sumatera Selatan, dengan ibukota Palembang
4. Sumatera Tengah, dengan ibukota Padang
5. Aceh, dengan ibukota Banda Aceh
6. Sunda Kecil (Bali, NTT, NTB), dengan ibukota Singaraja.
Pada Desember 1950 terjadi pengakuan kedaulatan RI. Dua bulan kemudian Jen. Sudirman meninggal, kepemimpinannya dilanjutkan oleh Urip Sumohardjo mantan tentara KNIL beragama Kristen. Sementara itu, Panglima Divisi Sulawesi, Kahar Muzakar yang ditugaskan ke Yogya utk menghimpun kekuatan rakyat di tahun 1946, jabatannya sebagai Panglima Divisi Sulawesi diisi oleh Gatot Subroto mantan KNIL beragama Budha yang anti Hisbullah.
Terjadi konflik antara Kahar dengan Gatot Subroto, sehingga diciptakan situasi yang merugikan/merusak citra Kahar (putra daerah), akibatnya Kahar melawan ketidakdilan dan ketidak benaran yang dihembuskan Gatot Subroto.
Tahun 59/60 Kahar dinyatakan terbunuh dalam pertempuran, tetapi jenazahnya tidak ditemukan. M. Jusuf pernah dikirim melawan Kahar, mengalami kekalahan namun bisa selamat kembali ke Jakarta.
Tidak semua divisi mengalami pergolakan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar menjadi Panglima KRJT (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas). Institusi ini di bawah Panglima Divisi kalimantan yang panglimanya adalah Hasan Basri. Sedangkan Divisi Jawa Timur panglimanya adalah Jen. Sudirman (sebelum meninggal dunia).
Ketidak-adilan di dalam tubuh TRI semakin terasa ketika orang-orang dari Sulut yang beragama Kristen (dan mantan tentara KNIL) banyak menduduki jabatan penting, antara lain Kol. Kawilarang (menjabat panglima divisi Siliwangi), Kol. Ventje Sumual, dan sebagainya.
Apalagi kemudian AD memegang kendali pemerintahan, setelah Soekarno tumbang. Soeharto yang mantan KNIL dan penganut Kejawen, kemudian mengawali pemerintahannya dengan rasa benci yang mendalam terhadap Islam.
Sebelum era Benny Moerdani, Soeharto menempatkan orang-orangnya seperti Panggabean, Soedomo dan Ali Moertopo yang dengan baik memenuhi kemauan Soeharto.
Ali Moertopo sukses dengan proyek Komando Jihad. Kemudian Soedomo juga sukses dengan Kopkamtibnya "ngegebukin" umat Islam. Benny Moerdani sukses dengan proyek Imran/Woyla dan Tanjung Priok. Try Soetrisno sukses dengan proyek Lampung dan DOM Aceh, juga beberapa kasus seperti Haur Koneng, dan sebagainya.
Jenderal M. Jusuf (orang Makasar) sempat didudukkan sebagai Pangab, sebelum Benny. Ketika itu tekanan terhadap Islam agak mereda, perlakuan ala binatang terhadap Tapol dan Napol Islam, agak berkurang ketika Yusuf menjadi Pangab. Kesejahteraan prajurit pun membaik. Namun tidak banyak yang bisa ia lakukan. Meski dari Makasar ternyata Yusuf tidak semilitan Katholik abangan seperti Benny.
Di masa Benny, betapa sulitnya mendapatkan perwira Muslim yang menjabat Komandan Kodim. Semuanya Kristen, hanya satu-dua saja yang Budha atau Hindu. Pada umumnya Dandim adalah perwira Kopassandha (kini Kopassus). Untuk menjadi perwira Kopassandha, rangkaian testing dilakukan hari Jumat, sehingga prajurit yang masih loyal kepada agamanya, tidak bisa ikut test. Akibatnya, dari puluhan perwira Kopassandha kala itu, hanya satu yang Islam (abangan), dan satu Hindu atau Budha.
Penyingkiran secara sistematis ini sudah berlangsung sejak Panggabean, yang meneruskan tradisi Urip Soemohardjo dan Gatot Soebroto, sejak awal kemerdekaan terutama sejak wafatnya Jen. Soedirman.
Namun demikian untuk menghindarkan kesan diskriminatif, Benny merekrut juga pemuda-pemuda Islam menjadi tentara (bukan perwira Kopassandha). Tapi yang ia pilih yang tolol-tolol. Kalau ada pemuda Islam dari keluarga baik-baik (militan) kemudian cerdas, pasti dinyatakan tidak lulus testing dengan berbagai macam alasan.
Pemuda Islam tolol yang direkrut jadi tentara sebagian besar dikirim ke Timor Timur untuk menyetorkan nyawa. Ada diantara mereka yang selamat, seperti Ratono yang pernah terlibat kasus Priok. Ratono sampai kini masih hidup semata-mata karena keberuntungan, atau setidaknya Allah jadikan ia sebagai saksi hidup kebiadaban Benny dan para pendahulunya.
Tahun 1988 perseteruan Benny - Soeharto meruncing, terutama setelah rencana kudeta yang gagal dari Benny cs terhadap Soeharto, yang berakibat dicopotnya Benny dari jabatan Pangab dan digantikan Try.
Ketika Try menjabat Pangab (1989), Benny Moerdani kemudian menjabat Menhankam. Anehnya, Try masih melapor kepada Benny, padahal seharusnya ke presiden sebagai Pangti. Termasuk, laporan intelijen (ketika itu BAIS masih di bawah Pangab) Try Soetrisno selalu meneruskannya ke Benny.
Tahun 1992 Try dipensiunkan dan menduduki kursi Wapres berkat usaha gigih kalangan AD. Ketika itu sebenarnya Soeharto lebih condong ke Habibie, namun berkat fait accomply Harsudiono Hartas yang ketika itu menjabat Kassospol ABRI, akhirnya Try-lah yang baik mendampingi Soeharto selama lima tahun (hingga 1997).
Kursi Pangab kemudian diisi Eddy Sudrajat. Di masa Eddy inilah tekanan terhadap ummat Islam yang gencar dilakukan sejak Benny dan Try menjadi Pangab, agak mengendor. Bahkan kemudian di Mabes berdiri mesjid, sehingga para perwira dan prajurit bisa shalat Jum'at di Mabes.
Pada masa itu, Eddy Sudrajat sempat menjabat tiga jabatan sekaligus. Selain masih menjabat KASAD dan Panglima ABRI ia pun dilantik sebagai Menhankam. Semua jabatan itu satu per satu dilepaskan, kecuali Menhankam. Jabatan KASAD dilimpahkan ke Wismojo dan Panglima ABRI kepada Feisal Tanjung.
Di masa Feisal Tanjung, ummat Islam bisa bernafas lega. Tapol dan Napol banyak yang dibebaskan, meski masih terkesan takut-takut. Bahaya ekstrim kanan yang selalu dihembuskan sejak dulu, sirna dengan sendirinya. Bahkan, lulusan pesantren bisa masuk AKABRI ya cuma di masa Feisal Tanjung.
Sayangnya Feisal bersama Syarwan Hamid dituduh terlibat kasus 27 Juli, yang sebagian besar korbannya ya ummat Islam juga. Pada masa inilah muncul istilah ABRI hijau dengan konotasi negatif.
Setelah Feisal, Wiranto mendapat giliran menjadi Pangab. Wiranto semula adalah kader Benny. Karenanya, ketika ia naik menjadi KASAD kemudian Pangab, banyak juga yang waswas. Ketika Wiranto menjadi KASAD, perwira Muslim di lingkungan KASAD digeser dan digantikan dengan Hindu atau Budha.
Untung ada Prabowo. Sebenarnya Prabowo juga kader Benny, bahkan sejak ia masih Letnan. Namun akhirnya Prabowo melihat ketidak-adilan yang dibuat Benny, dan ia memberontak, sehingga jadilah Prabowo sebagai musuh nomor satu Benny. Kalau tidak ada Prabowo, mungkin sampai kini tidak ada yang bisa menjadi musuh Benny. Selain karena ia menantu Presiden, Prabowo juga banyak uang sehingga bisa menetralisir pengaruh "orang-orang Benny" di tubuh ABRI.
Meski Bowo jarang shalat, ia tetap saja dikategorikan sebagai ABRI hijau, mungkin karena keberpihakannya. Berkat tekanan dari Prabowo dkk akhirnya Wiranto tak berkutik. Bahkan belakangan ia ikut-ikutan menjadi ABRI hijau. Sebuah pilihan yang pragmatis.
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa sejak dulu yang namanya tentara itu lebih banyak merugikan Islam. Kalau tidak memusuhi secara terang-terangan, maka ia berbaik-baik sambil memberikan stigma.
Seharusnya ummat Islam menjaga jarak yang pas dengan tentara. Jangan mau digebukin tetapi juga jangan sampai ditunggangi dengan alasan kerja sama sinergis.
Sialnya, masih ada saja diantara umat Islam yang mau ditunggangi tentara padahal dulu mereka sering digebukin. Rasanya, kemiskinanlah yang membuat mereka seperti itu.
Senin, 05 Mei 2014
PIDATO SOEKARNO (part 1)
Bagi Anhar, penerbitan pidato Soekarno tidak akan membawa pengaruh berarti pada masyarakat. "Kalau mempengaruhi Soekarnois, iya," katanya. Anhar menilai tidak ada yang dihilangkan dari sejarah Soekarno pada masa Orde Barau. "Memang ditutupi, tapi tidak dihilangkan. Buktinya, nama bandar udara pakai Soekarno-Hatta. Tidak mungkin menghilangkan nama Soekarno dari proklamasi, sama tidak mungkinnya dengan upaya PKI menghapus nama Hatta sebagai proklamator," ujarnya.
Yang dilakukan Orde Baru, menurut Anhar, adalah ikhtiar menonjolkan peran Soeharto. Upaya penyimpangan penulisan sejarah tidak hanya terjadi pada zaman Soeharto, melainkan juga pada masa Soekarno. G. Moedjanto, sejarawan dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, pernah menulis artikel "Meluruskan Sejarah Nasional", pada Agustus 2001. Ia menyebut beberapa contoh kasus penyimpangan yang perlu diluruskan.
Misalnya soal rekayasa Soekarno tentang mitos proklamasi. Diceritakan dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno berbincang dengan Sukarni Kartodiwiryo. Soekarno bilang, "Di Saigon saya sudah merencanakan proklamasi tanggal 17." Mengapa? Soekarno menjawab, "Angka 17 adalah angka sakti. Lebih memberi harapan. Angka 17 keramat. Al-Quran diturunkan pertama tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat sehari. Maka hari Jumat Legi tanggal 17 Agustus saya pilih untuk menyelenggarakan proklamasi."
Kemudian perihal lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Ada pendapat, ide Pancasila pertama kali dicetuskan Muhamad Yamin pada 29 Mei 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Lebih dari 30 tahun zaman Orde Baru, sejarawan dan penatar P4 tidak berani menyatakan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Padahal, Yamin dalam enam tulisannya mengakui bahwa ide Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan pertama kali oleh Bung Karno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945.
Ada juga polemik golongan tua dan muda dalam proklamasi. Golongan tua, diwakili Hatta, menyatakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membuat skenario proklamasi pada 16 Agustus 1945. Gara-gara ulah golongan muda, proklamasi tertunda satu hari, menjadi 17 Agustus. Golongan muda, diwakili Adam Malik, menyatakan, kalau tidak didesak golongan muda, sampai September pun belum tentu proklamasi dikumandangkan.
Lantas tentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berarti kembali ke UUD 1945. Ada yang menuduh Soekarno melakukan kudeta. Namun, sumber lain, Hardi, SH, mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet Karya, menyangkal. Menurut Hardi, Bung Karno sebenarnya tidak meminati UUD 1945 karena mengharuskannya bertanggung jawab kepada MPR. Hanya karena dukungan banyak partai dan Angkatan Darat, yang dipimpin A.H. Nasution, Soekarno bersedia mengeluarkan dekrit.
Peristiwa kontroversial semacam itu, menurut Moedjanto, perlu diluruskan. Tapi, Taufik Abdullah menolak istilah pelurusan sejarah. "Istilah 'pelurusan sejarah' itu istilah politik," kata Taufik kepada Luqman Hakim Arifin dari GATRA. "Orang sejarah tidak ngomong pelurusan, sebab sejarah itu selalu direvisi," mantan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini menambahkan. Menulis sejarah, kata dia, tergantung ada tidaknya sumber dan cara memahami sumber itu. Sumber juga perlu dikritik tingkat kebenarannya.
Taufik kini memimpin tim yang akan menyusun edisi baru sejarah nasional Indonesia. Dari inventarisasi timnya, ada beberapa peristiwa sejarah yang diakui masih kontroversial. Sebagian sama dengan yang dikemukakan Moedjanto tadi. Yaitu lahirnya Pancasila, Serangan Umum 1 Maret 1949, G-30-S, Supersemar, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), tokoh yang dipolemikkan sebagai pejuang atau pemberontak seperti Tan Malaka, dan masuknya Timor Timur.
Pada masalah PDRI yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara, kata Taufik, Soekarno selalu menghapus sejarah itu. "Tidak pernah sekali pun Soekarno menyebut tentang PDRI," katanya. Soekarno tidak ingin melupakan kenyataan bahwa ia tahanan Belanda. Soeharto juga melupakan PDRI karena tidak ingin mengingat bahwa yang memimpin PDRI adalah sipil. Nasution pun begitu.
Apa pun, upaya pemunculan fakta sejarah secara proporsional, seperti pidato Bung Karno ini, penting untuk menyadarkan setiap penguasa. Bahwa sudah bukan zamannya lagi menutup-nutupi peran tokoh sejarah yang berjasa pada negara. Upaya itu hanya akan menimbulkan dendam sejarah. Tidak hanya Bung Karno --sebagaimana rekomendasi Sidang Tahunan MPR 2003 untuk merehabilitasi para pahlawan-- nama lain seperti Sjafruddin Prawiranegara, Sjahrir, dan Moh. Natsir juga penting dibebaskan dari manipulasi sejarah.
Pembongkaran pidato Bung Karno ini pun bukan melulu soal penjernihan peristiwa penting di masa lalu. Juga penyegaran wasiat Bung Karno kepada banyak pihak. Termasuk kepada putrinya, Megawati, yang kini menjadi presiden. Dalam Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan, Jakarta, 30 September 1965, Bung Karno mengisahkan pesannya kepada Mega yang dipanggil Dis.
"Dis, engkau harus bantu usaha rakyat mendatangkan sosialisme Indonesia yang cukup sandang, cukup pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja," ujar Bung Karno. Pesan ini relevan dengan kondisi saat ini, ketika banyak rakyat kekurangan pangan akibat kekeringan dan musibah lainnya.
Minggu, 04 Mei 2014
Khilafah Oh Khilafah
Pada 3 Maret 1924, umat Islam kehilangan garis kekalifahan. Pada tanggal itu, Khilafah Islamiyah
secara resmi dihapuskan oleh pemerintahan sekuler Turki.
Para ahli sejarah sepakat, zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Usmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Usmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik.
Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus. Banyak analisa menyebut, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Usmaniyah. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, kesalahan dalam menerapkan Islam.
Pada masa ini, terjadi banyak penyimpangan dalam pengangkatan khalifah, yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan.
Kelemahan Khilafah Usmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 ), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg.
Bahkan, Khilafah Usmaniyah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 Masehi. Nasib Khilafah Usmaniyah semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Di sisi lain, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syekh Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839, cengkeraman Barat di dunia Islam semakin kokoh.
Keadaan ini diperparah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah. Boleh dikata, saat itu sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap Khilafah Islam.
Perjanjian dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan dengan Inggris (1580) membuat warga non-Muslim mendapat hak-hak istimewa. Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat.
Kondisi ini ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara intensif di dunia Islam sejak abad ke-16. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka.
Gerakan ini dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah khilafah. Di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 hingga abad ke-20. Khilafah Usmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki.
Tahun 1855 negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Usmaniyah untuk melakukan amandemen UUD. Maka, keluarlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855. Tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika -- pusat komunitas Yahudi Dunamah -- melakukan pemberontakan.
Tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Inggris dan Prancis di belakang mereka.
Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.
Sejarah kemudian mencatat, Kamal Pasha -- pemuda asal Salonika -- akhirnya menjalankan agenda Inggris: melakukan revolusi untuk menghancurkan khilafah Islam. Itu diawali dengan perjanjian yang melahirkan "Persyaratan Curzon" pada 21 November 1923. Isinya, Turki harus menghapuskan khilafah Islamiyah, mengusir khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya.
Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian ditandatangani pada 24 Juli 1923. Delapan bulan setelah itu, tepatnya 3 Maret 1924, Kamal Pasha mengumumkan pemecatan khalifah, pembubaran sistem khilafah, mengusir khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi yang dilakukan oleh Kamal Attaturk dan menandai berakhirnya kekhalifahan Islam sejak zaman nabi SAW.
Mustafa Kemal
Pria yang menjadi presiden pertama Turki ini lahir dengan nama Mustafa pada 12 Maret 1881 di Tesalonika (kini menjadi bagian Yunani). Ayahnya Ali Riza, seorang mantan pegawai rendahan di kantor pemerintah, meninggal akibat TBC. Ibunya Zubeyde Hanim, adalah Muslimah taat yang buta huruf.
Zubeyde memfokuskan hidupnya untuk mengurus Mustafa. Karena taat Islam, ia berharap Mustafa menjadi ulama faqih.
Namun jauh panggang dari api. Mustafa memilih berkarier di militer sebelum akhirnya berhasil menggulingkan pemerintahan dan menjadi doktator baru di Turki.
Tidak lama setelah berkuasa, ia menyatakan bahwa akan menghancurkan Islam dalam kehidupan Turki. Menurutnya hanya dengan mengeliminasi segala hal berbau Islam, Turki bisa 'maju' menjadi bangsa modern yang dihormati.
Pada 3 Maret 1924, ia mengajukan UU yang menghapuskan khalifah selamanya dan mendirikan negara Turki sekuler. Dengan membungkam dan mengancam para penetangnya, ia berhasil menggolkan UU tersebut, dan khalifah sekeluarga diasingkan ke Swiss.
Setelah menjadi diktator absolut, rakyat Turki terpaksa menerima reformasi anti-Islam. Mereka dilarang berkopiah Turki dan berjilbab, wajib berbusana Eropa, memakai aksara Latin, kalender Masehi, dan hari Minggu sebagai hari libur. Ribuan ulama dan pengikutnya rela berkorban jiwa daripada menerima kehancuran segala hal yang disucikan.
Mustafa Kemal menetapkan agar tiap warga Turki mencantumkan nama keluarganya seperti masyarakat Eropa dan Amerika. Ia juga memilih menggunakan nama "Attaturk" atau Bapak Bangsa Turki.
Pada 1938, kesehatannya memburuk. Pada 10 November 1938, Mustafa Kemal akhirnya meninggal karena penyakit radang hati yang disebabkan oleh alkohol yang selalu menemani hidupnya. (RioL)
Para ahli sejarah sepakat, zaman Khalifah Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566) merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Usmaniyah. Pada masa ini, Khilafah Usmaniyah telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik.
Namun sayang, setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, khilafah mulai mengalami kemerosotan terus-menerus. Banyak analisa menyebut, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Usmaniyah. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, kesalahan dalam menerapkan Islam.
Pada masa ini, terjadi banyak penyimpangan dalam pengangkatan khalifah, yang justru tak tersentuh oleh undang-undang. Akibatnya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan.
Kelemahan Khilafah Usmaniyah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 ), wilayah Hungaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg.
Bahkan, Khilafah Usmaniyah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 Masehi. Nasib Khilafah Usmaniyah semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).
Di sisi lain, karena lemahnya pemahaman terhadap Islam, para penguasa ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi, yang didukung oleh fatwa-fatwa syekh Islam yang penuh kontroversi. Bahkan, dengan dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839, cengkeraman Barat di dunia Islam semakin kokoh.
Keadaan ini diperparah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah. Boleh dikata, saat itu sedikit demi sedikit telah terjadi sekularisasi terhadap Khilafah Islam.
Perjanjian dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan dengan Inggris (1580) membuat warga non-Muslim mendapat hak-hak istimewa. Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat.
Kondisi ini ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk melakukan gerakannya secara intensif di dunia Islam sejak abad ke-16. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka.
Gerakan ini dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah khilafah. Di Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan sejak abad ke-19 hingga abad ke-20. Khilafah Usmaniyah pada akhirnya kehilangan banyak wilayahnya, hingga yang tersisa kemudian hanya Turki.
Konspirasi untuk meruntuhkan
Tahun 1855 negara-negara Eropa, khususnya Inggris, memaksa Khilafah Usmaniyah untuk melakukan amandemen UUD. Maka, keluarlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855. Tahun 1908, Turki Muda yang berpusat di Salonika -- pusat komunitas Yahudi Dunamah -- melakukan pemberontakan.
Tanggal 18 Juni 1913, pemuda-pemuda Arab mengadakan kongres di Paris dan mengumumkan Nasionalisme Arab. Inggris dan Prancis di belakang mereka.
Perang Dunia I tahun 1914 dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istanbul, dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah, kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kamal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915.
Sejarah kemudian mencatat, Kamal Pasha -- pemuda asal Salonika -- akhirnya menjalankan agenda Inggris: melakukan revolusi untuk menghancurkan khilafah Islam. Itu diawali dengan perjanjian yang melahirkan "Persyaratan Curzon" pada 21 November 1923. Isinya, Turki harus menghapuskan khilafah Islamiyah, mengusir khalifah, dan menyita semua harta kekayaannya.
Persyaratan tersebut diterima oleh Mustafa Kamal dan perjanjian ditandatangani pada 24 Juli 1923. Delapan bulan setelah itu, tepatnya 3 Maret 1924, Kamal Pasha mengumumkan pemecatan khalifah, pembubaran sistem khilafah, mengusir khalifah ke luar negeri, dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi yang dilakukan oleh Kamal Attaturk dan menandai berakhirnya kekhalifahan Islam sejak zaman nabi SAW.
Mustafa Kemal
Jauhkan Ruh Islam dari Turki
Pria yang menjadi presiden pertama Turki ini lahir dengan nama Mustafa pada 12 Maret 1881 di Tesalonika (kini menjadi bagian Yunani). Ayahnya Ali Riza, seorang mantan pegawai rendahan di kantor pemerintah, meninggal akibat TBC. Ibunya Zubeyde Hanim, adalah Muslimah taat yang buta huruf.
Zubeyde memfokuskan hidupnya untuk mengurus Mustafa. Karena taat Islam, ia berharap Mustafa menjadi ulama faqih.
Namun jauh panggang dari api. Mustafa memilih berkarier di militer sebelum akhirnya berhasil menggulingkan pemerintahan dan menjadi doktator baru di Turki.
Tidak lama setelah berkuasa, ia menyatakan bahwa akan menghancurkan Islam dalam kehidupan Turki. Menurutnya hanya dengan mengeliminasi segala hal berbau Islam, Turki bisa 'maju' menjadi bangsa modern yang dihormati.
Pada 3 Maret 1924, ia mengajukan UU yang menghapuskan khalifah selamanya dan mendirikan negara Turki sekuler. Dengan membungkam dan mengancam para penetangnya, ia berhasil menggolkan UU tersebut, dan khalifah sekeluarga diasingkan ke Swiss.
Setelah menjadi diktator absolut, rakyat Turki terpaksa menerima reformasi anti-Islam. Mereka dilarang berkopiah Turki dan berjilbab, wajib berbusana Eropa, memakai aksara Latin, kalender Masehi, dan hari Minggu sebagai hari libur. Ribuan ulama dan pengikutnya rela berkorban jiwa daripada menerima kehancuran segala hal yang disucikan.
Mustafa Kemal menetapkan agar tiap warga Turki mencantumkan nama keluarganya seperti masyarakat Eropa dan Amerika. Ia juga memilih menggunakan nama "Attaturk" atau Bapak Bangsa Turki.
Pada 1938, kesehatannya memburuk. Pada 10 November 1938, Mustafa Kemal akhirnya meninggal karena penyakit radang hati yang disebabkan oleh alkohol yang selalu menemani hidupnya. (RioL)
djakarta charter
Perjalanan panjang bangsa ini merebut kemerdekaan sesungguhnya adalah tapak
sejarah perjalanan dakwah. Kekuatan yang tumbuh melakukakn perlawanan terhadap
kolonialisme berabad-abad lamanya, bersumber dari wahyu Risalah: Dinul Islam
sumber kekuatan utama mayoritas bangsa, dan mengantarkan Indonesia ke gerbang
kemerdekaan yang kita raih: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”
(Mukaddimah UUD ’45)
Tidak kurang dari tokoh seperti Snouck Hurgronje, pe nasihat pemerintah kolonial Belanda menyampaikan sarannya kepada pemerintah kolonial Belanda (Dutch Islamic Policy) dengan tujuan mematahkan perlawanan ummat Islam. Antara lain Snouck Hurgronje menyarankan. “Yang harus ditakuti pemerintah (maksudnya pemerintah Belanda, pen) bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik. Biasanya dipimpin small-minority yang fanatik, yakni ulama yang membaktikan hidupnya terhadap cita-cita Pan Islamisme. Golongan ulama ini lebih berbahaya kalau pengaruhnya meluas kepada petani di desa-desa. Karena itu disarankan supaya pemerintah bertindak netral terhadap Islam sebagai agama dan sebaliknya bertindak tegas terhadap Islam sebagai doktrin politik.”
Pemerintah Belanda harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama kebudayaan Indonesia Belanda. Ini dapat dimulai dengan memperalat golongan priyayi yang selalu berdekatan dengan pemerintah, karena kebanyakan menjabat sebagai PAMONG PRAIA. Untuk memperlancar usaha tersebut dengan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan barat (lihat. J. Benda: The Crescent and the Rising Sun).
Pemerintah harus membantu menghidupkan golongan pemangku adat. Karena mereka ini akan menentang Islam. Pertentangan ini disebabkan lembaga adat dibentuk oleh tradisi lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Kondisi ini memudahkan pemerintah kerjasama dengan Golongan Pemangku Adat.
Dalam menghadapi Perang Aceh, Snouck menasihatkan supaya dijalankan Operasi Militer ke daerah pedalaman dan “menindak secara keras para ulama-ulama yang berada di kampung-kampung serta jangan diberi kesempatan para ulama menyusun kekuatannya dengan membentuk santrinya sebagai pasukan sukarela”. Terhadap “orang Islam yang awam” pemerintah harus meyakinkan bahwa “pemerintah melindungi agama Islam”. Usaha ini harus dijalankan dengan bantuan dari kepala-kepala adat.
Pemerintah harus selalu memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik. Makin jauh jarak kedua hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam.” Alam pikiran Snouck Hurgronje ini menghunjam dalam menjadi dasar bagi strategi melumpuhkan dan memarginalkan kekuatan Islam yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik anti Islam. Sikap ini terus menerus mereka lakukan sejak awal kemerdekaan (18 Agustus 1945) yakni dicoretnya 7 kata (syariat Islam dari UUD ’45) hingga reaksi keras mereka menolak RUU Sisdiknas (2003) dengan tujuan menggusur pendidikan agama dari sistem pendidikan nasional. Konsistensi sikap mereka ini mengalir sepanjang sejarah dengan satu tujuan, menjegal aspirasi ummat Islam. Tulisan ini berusaha menelusuri kembali sebagian dari hal tersebut.
Ketika para pendiri Republik ini berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama.
Selanjutnya tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Hendaknya disadari oleh setiap muslim bahwa Republik yang lahir itu adalah sebuah negara yang “berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari ‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Subhanallah, Allahu Akbar!
Namun keesokan harinya tanggal 18 Agustus rangkaian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, itu dihapus, diganti dengan kalimat: yang maha esa. Inilah awal malapetaka. Inilah awal pengkhianatan terhadap Islam dan ummat Islam.
Tentang hal ini berbagai peristiwa dan wacana terjadi mendahului sebelum apa yang kemudian dikenal dengan “tujuh kata” itu dihapus. Terkait di dalamnya antara lain tokoh-tokoh seperti Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Qahhar Muzakkir, Kasman Singodimejo, Teuku Moh. Hasan, Soekarno. Meskipun usianya hanya sehari, republik yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Republik yang berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Syariat Islam melekat dalam konstitusinya walaupun hanya sehari! Hal ini tertanam di lubuk hati yang paling dalam bagi setiap aktivis dakwah. Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagus. Dalam pandangan Ki Bagus hanya Islam-lah agama tauhid. Dalam biografinya Teuku Moh. Hasan pun menulis tentang makna Yang Maha Esa ini sebagai Tauhid.
Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada 1957-1959 (hingga Dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.
Tentang hilangnya tujuh kata ini Mr. Moh Roem mengutip ungkapan dalam bahasa Belanda: Menangisi susu yang sudah tumpah !?
Sedang M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”
Sesudah Proklamasi kita memasuki (1945-1950) masa kemerdekaan, pasca revolusi, PDRI, penyerahan kedaulatan selanjutnya terbentuknya NKRI melalui mosi integral Mohd. Natsir pada 1950. Selanjutnya kita menerapkan demokrasi parlementer diselingi Pemilu I pada tahun 1955 di bawah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), pemilu yang dinilai paling bersih dan paling demokratis.
Sementara itu di luar Jawa di Aceh yang dijuluki “daerah modal” merasa tidak memperoleh keadilan. Lebih dari itu merasa dikhianati oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia.
Ketika Bung Karno berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Mohammad Daud Beureueh. Kepada Abu Beureueh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk menegakkan Islam dan memberlakukan syariat Islam. Namun kenyataannya, Bung Karno mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama pemberontakan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Tgk. Mohammad Daud Beureueh menelan waktu bertahun-tahun dan menorehkan luka yang dalam di hati rakyat Aceh.
Dalam sidang Konstituante (1957-1959). Baik dalam Panitia Persiapan Konstitusi maupun dalam perdebatan tentang Dasar Negara kalangan Kristen dengan gigih menolak Islam dijadikan dasar ideologi negara, didukung oleh kekuatan nasionalis, sekuler, sosialis, Partai Komunis Indonesia dan lain-lain. Indonesia sesungguhnya merupakan ajang pertarungan ideologi.
Dalam Sidang IV MPRS 1966. Golongan Kristen dengan tegas menolak penafsiran Ketetapan No. XX/MPRS/1966 sebagai ketetapan yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu identik dengan Pembukaan, maka merupakan bagian dari UUD dan berkekuatan hukum. Menurut mereka Piagam Jakarta hanya ditempatkan dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, bukan dalam diktum atau keputusan Dekrit itu. Jadi (menurut mereka) Piagam Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.
Dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Sebelum sidang dimulai ke dalam Badan Pekerja MPRS dimasukkan suatu usul tertulis yang antara lain mengajukan agar kewajiban melakukan ibadat diwajibkan bagi setiap pemeluk agama dan agama resmi adalah agama Islam. Presiden dan Wakil Presiden harus beragama Islam. Usul ini dengan gigih ditolak terutama oleh kalangan Kristen (Surat kabar Suluh Marhaen, 3 Maret 1967).
Dalam Sidang V MPRS 1968. Golongan Kristen dibantu oleh golongan nasionalis atau non Muslim lainnya menolak rumusan Pembukaan dari Rancangan GBHN yang berisi: “Isi tujuan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dituangkan dalam UUD 1945 yang terdiri dari batang tubuh dilandasi oleh Pancasila serta dijiwai oleh Piagam Jakarta.” Mereka menolak rumusan tersebut dengan beralasan bahwa kata “dijiwai” menimbulkan arti seolah-olah Piagam Jakarta adalah jiwa sedangkan UUD 1945 itu tubuhnya. “Secara objektif perkataan ‘menjiwai’ dalam Dekrit itu harus diartikan sebagian besar dari Piagam Jakarta - kecuali tujuh kata - dimasukkan dalam Pembukaan yang diterima pada tanggal 18-8-1945, dan Pembukaan itu adalah jiwa UUD 1945. Tidak ada jiwa yang lain. Kalau dikatakan oleh sementara pihak, bahwa Piagam Jakarta ‘menjiwai’ UUD dan bukan Pembukaan yang menjiwainya, itu dapat menimbulkan arti, bahwa justru tujuh kata yang telah dicoret itulah yang ‘menjiwai’ UUD ’45. Jadi hal itu haras ditolak.” Demikian antara lain alasan-alasan kalangan Kristen/Katolik.
Sesudah kembali ke UUD ’45 melalui Dekrit 5 Juli ’59 Bung Karno menindaklanjuti dengan langkah-langkah politik; Membubarkan Konstituante, membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur pembentukan kabinet. Lalu terbentuklah Kabinet Gotong Royong dan melibatkan PKI dalam Kabinet. Kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) disusul berbagai langkah politik yang repressif. Berakhirlah peran DPR pilihan rakyat (Pemilu 1955) dan berakhir pula demokrasi parlementer. Bung Karno berubah dari seorang demokrat menjadi diktatur. Pancasila diperas menjadi Tri Sila, dari Tri Sila diperas menjadi Eka Sila: Gotong Royong dan Poros Nasakom. Lalu digelorakanlah jargon: Nasakom jiwaku, hancurkan kepala batu!
Terjadilah proses Nasakomisasi di seluruh bidang di bawah Panji-panji Revolusi “yang belum selesai”. PKI mendapatkan ruang bergerak yang sangat terbuka untuk memainkan peran menentukan di panggung politik nasional. Situasi ini baru berakhir dengan terjadinya Peristiwa 30 September 1965 dengan segala akibat-akibatnya.
Jika di masa 1959-1965 Orde Lama Soekarno memaksakan Nasakom, Demokrasi Terpimpin, Paradigma Revolusi, U.U. Subversi, dll, sebaliknya Soeharto meneruskan dengan kemasan baru: Demokrasi Pancasila, P4, Asas Tunggal, PMP, Aliran Kepercayaan, memperkokoh Dwifungsi ABRI (militerisasi di segala bidang kehidupan) plus U.U. Subversi, selama 32 tahun pemerintahannya. Empat pilar Orde Baru : ABRI, Golkar, Birokrasi (Korpri), Konglomerat, menopang pemerintahannya yang repressif. Pemilu yang penuh rekayasa melanggengkan kekuasaannya.
Umat Islam dimarginalkan melalui tahapan: de-ideologisasi (pemaksaan asas tunggal Pancasila); de-politisasi (konsep massa mengambang/floating mass); sekularisasi (antara lain berbagai kebijakan dan konsep RUU yang sangat mengabaikan agama); akhirnya bermuara pada: de-Islamisasi.
Sosok Ali Murtopo, Sudjono Humardani, Bakin pada 1970-an memainkan peran utama di panggung pertarungan politik nasional. Bersaing dengan perwira-perwira tinggi lainnya Ali Murtopo menjadi “bintang” di dukung oleh institusi strategis sebagai think-tank yakni CSIS yang pada masa itu di dominasi oleh intelektual Katolik dari ordo Jesuit yang sangat anti Islam.
Berbagai jebakan sebagai bagian dari skenario (operasi-operasi) intelijen digelar untuk kemudiannya mereka yang dilibatkan dikorbankan. Komando Jihad, Woyla, Cicendo, Lampung, Haur Koneng, Tanjung Priok dan lain-lain tidak terlepas dari rekayasa intelijen. Beberapa tokoh ex D.I. (Darul Islam) Jawa Barat dirangkul dan diberi berbagai fasilitas. Ada yang diberi pom bensin, perkebunan teh, ada yang diangkat sebagai deputi kerohanian Bakin. Namun sesudah itu satu persatu diringkus dijebloskan kedalam penjara dengan berbagai tuduhan. Semua tuduhan itu fitnah. Kalangan intelijen mempunyai permanent issue antara lain: ekstrim kanan. Untuk menunjukkan kebenaran adanya kelompok ekstrim kanan, direkayasa berbagai peristiwa. Padahal semua itu bagaikan “hujan buatan” (rekayasa intelijen).
Di akhir periode pemerintahannya ada indikasi Soeharto ingin memperbaiki hubungan dengan ummat Islam dimulai dari berdirinya ICMI pada 1990, U.U. Peradilan Agama, U.U. Sistem Pendidikan Nasional (1989), Bank Muamalat dan kebijakan politik lainnya.
Namun prahara Krisis moneter menjadi awal malapetaka, berkembang menjadi krisis ekonomi, menyusul krisis politik dan berakhir dengan krisis kepemimpinan nasional. Akhirnya tekanan dahsyat demonstrasi mahasiswa yang menginginkan reformasi menumbangkan pemerintahan Soeharto sebagaimana tumbangnya pemerintahan Soekarno. Selanjutnya berturut-turut tampil Habibie, Gus Dur dan Megawati.
Tidak kurang dari tokoh seperti Snouck Hurgronje, pe nasihat pemerintah kolonial Belanda menyampaikan sarannya kepada pemerintah kolonial Belanda (Dutch Islamic Policy) dengan tujuan mematahkan perlawanan ummat Islam. Antara lain Snouck Hurgronje menyarankan. “Yang harus ditakuti pemerintah (maksudnya pemerintah Belanda, pen) bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik. Biasanya dipimpin small-minority yang fanatik, yakni ulama yang membaktikan hidupnya terhadap cita-cita Pan Islamisme. Golongan ulama ini lebih berbahaya kalau pengaruhnya meluas kepada petani di desa-desa. Karena itu disarankan supaya pemerintah bertindak netral terhadap Islam sebagai agama dan sebaliknya bertindak tegas terhadap Islam sebagai doktrin politik.”
Pemerintah Belanda harus menyempitkan ruang gerak dan pengaruh Islam. Hal ini dapat dicapai melalui kerjasama kebudayaan Indonesia Belanda. Ini dapat dimulai dengan memperalat golongan priyayi yang selalu berdekatan dengan pemerintah, karena kebanyakan menjabat sebagai PAMONG PRAIA. Untuk memperlancar usaha tersebut dengan mendidik golongan priyayi dengan pendidikan barat (lihat. J. Benda: The Crescent and the Rising Sun).
Pemerintah harus membantu menghidupkan golongan pemangku adat. Karena mereka ini akan menentang Islam. Pertentangan ini disebabkan lembaga adat dibentuk oleh tradisi lokal, sedangkan Islam bersifat universal. Kondisi ini memudahkan pemerintah kerjasama dengan Golongan Pemangku Adat.
Dalam menghadapi Perang Aceh, Snouck menasihatkan supaya dijalankan Operasi Militer ke daerah pedalaman dan “menindak secara keras para ulama-ulama yang berada di kampung-kampung serta jangan diberi kesempatan para ulama menyusun kekuatannya dengan membentuk santrinya sebagai pasukan sukarela”. Terhadap “orang Islam yang awam” pemerintah harus meyakinkan bahwa “pemerintah melindungi agama Islam”. Usaha ini harus dijalankan dengan bantuan dari kepala-kepala adat.
Pemerintah harus selalu memisahkan antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai doktrin politik. Makin jauh jarak kedua hal tersebut akan mempercepat proses kehancuran Islam.” Alam pikiran Snouck Hurgronje ini menghunjam dalam menjadi dasar bagi strategi melumpuhkan dan memarginalkan kekuatan Islam yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik anti Islam. Sikap ini terus menerus mereka lakukan sejak awal kemerdekaan (18 Agustus 1945) yakni dicoretnya 7 kata (syariat Islam dari UUD ’45) hingga reaksi keras mereka menolak RUU Sisdiknas (2003) dengan tujuan menggusur pendidikan agama dari sistem pendidikan nasional. Konsistensi sikap mereka ini mengalir sepanjang sejarah dengan satu tujuan, menjegal aspirasi ummat Islam. Tulisan ini berusaha menelusuri kembali sebagian dari hal tersebut.
Ketika para pendiri Republik ini berhasil merumuskan satu gentlement agreement yang sangat luhur dan disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Sesungguhnya Piagam Jakarta inilah mukaddimah UUD ’45 yang pertama.
Selanjutnya tanggal 17 Agustus 1945 pada hari Jum’at dan bulan Ramadhan, Indonesia lahir sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Hendaknya disadari oleh setiap muslim bahwa Republik yang lahir itu adalah sebuah negara yang “berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari ‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Subhanallah, Allahu Akbar!
Namun keesokan harinya tanggal 18 Agustus rangkaian kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, itu dihapus, diganti dengan kalimat: yang maha esa. Inilah awal malapetaka. Inilah awal pengkhianatan terhadap Islam dan ummat Islam.
Tentang hal ini berbagai peristiwa dan wacana terjadi mendahului sebelum apa yang kemudian dikenal dengan “tujuh kata” itu dihapus. Terkait di dalamnya antara lain tokoh-tokoh seperti Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Qahhar Muzakkir, Kasman Singodimejo, Teuku Moh. Hasan, Soekarno. Meskipun usianya hanya sehari, republik yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Republik yang berdasarkan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Syariat Islam melekat dalam konstitusinya walaupun hanya sehari! Hal ini tertanam di lubuk hati yang paling dalam bagi setiap aktivis dakwah. Masih terngiang ucapan Kasman Singodimejo dalam sebuah perbincangan bahwa beliau merasa turut bersalah karena dengan bahasa Jawa yang halus Beliau menyampaikan kepada Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah yang teguh pendiriannya itu untuk sementara menerima usulan dihapusnya 7 kata itu. Kasman terpengaruh oleh janji Soekarno dalam ucapannya, “Bahwa ini adalah UUD sementara, UUD darurat, Undang-undang Kilat. Nanti 6 bulan lagi MPR terbentuk. Apa yang tuan-tuan dari golongan Islam inginkan silahkan perjuangkan disitu.”
Kasman berpikir, yang penting merdeka dulu. Lalu meminta Ki Bagus Hadikusumo bersabar menanti enam bulan lagi. Hatta juga menjelaskan bahwa Yang Maha Esa itu adalah tauhid. Maka tentramlah hati Ki Bagus. Dalam pandangan Ki Bagus hanya Islam-lah agama tauhid. Dalam biografinya Teuku Moh. Hasan pun menulis tentang makna Yang Maha Esa ini sebagai Tauhid.
Namun enam bulan kemudian Soekarno tidak menepati janji. Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak pernah terbentuk. Pemilu yang pertama baru dilaksanakan 10 tahun sesudah proklamasi (1955). Konstituante sebagai lembaga konstitusi baru bekerja pada 1957-1959 (hingga Dekrit 5 Juli 1959). Sementara Ki Bagus Hadikusumo yang diminta oleh Kasman Singodimejo meninggal dalam penantian.
Tentang hilangnya tujuh kata ini Mr. Moh Roem mengutip ungkapan dalam bahasa Belanda: Menangisi susu yang sudah tumpah !?
Sedang M. Natsir menulis: Tanggal 17 Agustus 1945 kita mengucapkan hamdalah; alhamdulillah menyambut lahirnya Republik sebagai anugerah Allah! Tanggal 18 Agustus kita istighfar mengucapkan astaghfirullah (mohon ampun kepada Allah) karena hilangnya tujuh kata!”
Sesudah Proklamasi kita memasuki (1945-1950) masa kemerdekaan, pasca revolusi, PDRI, penyerahan kedaulatan selanjutnya terbentuknya NKRI melalui mosi integral Mohd. Natsir pada 1950. Selanjutnya kita menerapkan demokrasi parlementer diselingi Pemilu I pada tahun 1955 di bawah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap (Masyumi), pemilu yang dinilai paling bersih dan paling demokratis.
Sementara itu di luar Jawa di Aceh yang dijuluki “daerah modal” merasa tidak memperoleh keadilan. Lebih dari itu merasa dikhianati oleh Bung Karno Presiden Republik Indonesia.
Ketika Bung Karno berkunjung ke Aceh di awal kemerdekaan bertemu dengan Tgk. Mohammad Daud Beureueh. Kepada Abu Beureueh, Soekarno menyatakan komitmennya untuk menegakkan Islam dan memberlakukan syariat Islam. Namun kenyataannya, Bung Karno mengkhianati janjinya. Inilah penyebab utama pemberontakan rakyat Aceh yang dipimpin oleh Tgk. Mohammad Daud Beureueh menelan waktu bertahun-tahun dan menorehkan luka yang dalam di hati rakyat Aceh.
Dalam sidang Konstituante (1957-1959). Baik dalam Panitia Persiapan Konstitusi maupun dalam perdebatan tentang Dasar Negara kalangan Kristen dengan gigih menolak Islam dijadikan dasar ideologi negara, didukung oleh kekuatan nasionalis, sekuler, sosialis, Partai Komunis Indonesia dan lain-lain. Indonesia sesungguhnya merupakan ajang pertarungan ideologi.
Dalam Sidang IV MPRS 1966. Golongan Kristen dengan tegas menolak penafsiran Ketetapan No. XX/MPRS/1966 sebagai ketetapan yang menegaskan bahwa Piagam Jakarta yang menjiwai UUD 1945 itu identik dengan Pembukaan, maka merupakan bagian dari UUD dan berkekuatan hukum. Menurut mereka Piagam Jakarta hanya ditempatkan dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, bukan dalam diktum atau keputusan Dekrit itu. Jadi (menurut mereka) Piagam Jakarta itu sama sekali tidak berkekuatan hukum.
Dalam Sidang Istimewa MPRS 1967. Sebelum sidang dimulai ke dalam Badan Pekerja MPRS dimasukkan suatu usul tertulis yang antara lain mengajukan agar kewajiban melakukan ibadat diwajibkan bagi setiap pemeluk agama dan agama resmi adalah agama Islam. Presiden dan Wakil Presiden harus beragama Islam. Usul ini dengan gigih ditolak terutama oleh kalangan Kristen (Surat kabar Suluh Marhaen, 3 Maret 1967).
Dalam Sidang V MPRS 1968. Golongan Kristen dibantu oleh golongan nasionalis atau non Muslim lainnya menolak rumusan Pembukaan dari Rancangan GBHN yang berisi: “Isi tujuan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dituangkan dalam UUD 1945 yang terdiri dari batang tubuh dilandasi oleh Pancasila serta dijiwai oleh Piagam Jakarta.” Mereka menolak rumusan tersebut dengan beralasan bahwa kata “dijiwai” menimbulkan arti seolah-olah Piagam Jakarta adalah jiwa sedangkan UUD 1945 itu tubuhnya. “Secara objektif perkataan ‘menjiwai’ dalam Dekrit itu harus diartikan sebagian besar dari Piagam Jakarta - kecuali tujuh kata - dimasukkan dalam Pembukaan yang diterima pada tanggal 18-8-1945, dan Pembukaan itu adalah jiwa UUD 1945. Tidak ada jiwa yang lain. Kalau dikatakan oleh sementara pihak, bahwa Piagam Jakarta ‘menjiwai’ UUD dan bukan Pembukaan yang menjiwainya, itu dapat menimbulkan arti, bahwa justru tujuh kata yang telah dicoret itulah yang ‘menjiwai’ UUD ’45. Jadi hal itu haras ditolak.” Demikian antara lain alasan-alasan kalangan Kristen/Katolik.
Sesudah kembali ke UUD ’45 melalui Dekrit 5 Juli ’59 Bung Karno menindaklanjuti dengan langkah-langkah politik; Membubarkan Konstituante, membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur pembentukan kabinet. Lalu terbentuklah Kabinet Gotong Royong dan melibatkan PKI dalam Kabinet. Kemudian membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) disusul berbagai langkah politik yang repressif. Berakhirlah peran DPR pilihan rakyat (Pemilu 1955) dan berakhir pula demokrasi parlementer. Bung Karno berubah dari seorang demokrat menjadi diktatur. Pancasila diperas menjadi Tri Sila, dari Tri Sila diperas menjadi Eka Sila: Gotong Royong dan Poros Nasakom. Lalu digelorakanlah jargon: Nasakom jiwaku, hancurkan kepala batu!
Terjadilah proses Nasakomisasi di seluruh bidang di bawah Panji-panji Revolusi “yang belum selesai”. PKI mendapatkan ruang bergerak yang sangat terbuka untuk memainkan peran menentukan di panggung politik nasional. Situasi ini baru berakhir dengan terjadinya Peristiwa 30 September 1965 dengan segala akibat-akibatnya.
Jika di masa 1959-1965 Orde Lama Soekarno memaksakan Nasakom, Demokrasi Terpimpin, Paradigma Revolusi, U.U. Subversi, dll, sebaliknya Soeharto meneruskan dengan kemasan baru: Demokrasi Pancasila, P4, Asas Tunggal, PMP, Aliran Kepercayaan, memperkokoh Dwifungsi ABRI (militerisasi di segala bidang kehidupan) plus U.U. Subversi, selama 32 tahun pemerintahannya. Empat pilar Orde Baru : ABRI, Golkar, Birokrasi (Korpri), Konglomerat, menopang pemerintahannya yang repressif. Pemilu yang penuh rekayasa melanggengkan kekuasaannya.
Umat Islam dimarginalkan melalui tahapan: de-ideologisasi (pemaksaan asas tunggal Pancasila); de-politisasi (konsep massa mengambang/floating mass); sekularisasi (antara lain berbagai kebijakan dan konsep RUU yang sangat mengabaikan agama); akhirnya bermuara pada: de-Islamisasi.
Sosok Ali Murtopo, Sudjono Humardani, Bakin pada 1970-an memainkan peran utama di panggung pertarungan politik nasional. Bersaing dengan perwira-perwira tinggi lainnya Ali Murtopo menjadi “bintang” di dukung oleh institusi strategis sebagai think-tank yakni CSIS yang pada masa itu di dominasi oleh intelektual Katolik dari ordo Jesuit yang sangat anti Islam.
Berbagai jebakan sebagai bagian dari skenario (operasi-operasi) intelijen digelar untuk kemudiannya mereka yang dilibatkan dikorbankan. Komando Jihad, Woyla, Cicendo, Lampung, Haur Koneng, Tanjung Priok dan lain-lain tidak terlepas dari rekayasa intelijen. Beberapa tokoh ex D.I. (Darul Islam) Jawa Barat dirangkul dan diberi berbagai fasilitas. Ada yang diberi pom bensin, perkebunan teh, ada yang diangkat sebagai deputi kerohanian Bakin. Namun sesudah itu satu persatu diringkus dijebloskan kedalam penjara dengan berbagai tuduhan. Semua tuduhan itu fitnah. Kalangan intelijen mempunyai permanent issue antara lain: ekstrim kanan. Untuk menunjukkan kebenaran adanya kelompok ekstrim kanan, direkayasa berbagai peristiwa. Padahal semua itu bagaikan “hujan buatan” (rekayasa intelijen).
Di akhir periode pemerintahannya ada indikasi Soeharto ingin memperbaiki hubungan dengan ummat Islam dimulai dari berdirinya ICMI pada 1990, U.U. Peradilan Agama, U.U. Sistem Pendidikan Nasional (1989), Bank Muamalat dan kebijakan politik lainnya.
Namun prahara Krisis moneter menjadi awal malapetaka, berkembang menjadi krisis ekonomi, menyusul krisis politik dan berakhir dengan krisis kepemimpinan nasional. Akhirnya tekanan dahsyat demonstrasi mahasiswa yang menginginkan reformasi menumbangkan pemerintahan Soeharto sebagaimana tumbangnya pemerintahan Soekarno. Selanjutnya berturut-turut tampil Habibie, Gus Dur dan Megawati.
Langganan:
Postingan (Atom)