Rabu, 24 Desember 2014

PANCASILA DAN Ir. SOEKARNO

TANGGAL 1 Juni disebut-sebut sebagai hari lahirnya Pancasila. Menurut Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, Pancasila merupakan karya brilian Bung Karno. Benarkah demikian? Hal itu diucapkannya pada sebuah teve swasta dalam acara memperingati Sewindu Reformasi, Mei 2006 silam. Bagaimana Pancasila dapat dikatakan sebagai karya brilian Bung Karno yang telah menggali nilai-nilai lokal kemudian diperahnya menjadi lima sila, dan salah satunya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, padahal hanya Islam yang Tuhannya Maha Esa. Agama selain Islam yakni Kristen (Protestan dan Katholik), Hindu, Budha dan Kong Hucu (bila diakui sebagai agama), semuanya adalah politheis, tidak Maha Esa.

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia bergama Hindu dan animis. Ini adalah fakta sejarah. Lalu darimana dasar berargumen BK yang mengatakan bahwa ia mengambil saripati nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat Nusantara, dan memerahnya menjadi Pancasila. Padahal, animisme tidak ber-Tuhan Yang Maha Esa.

Sepanjang Orde Baru berkuasa, kepada rakyat Indonesia ditanamkan doktrin bahwa Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat, merupakan ajaran yang tak boleh dibantah.

Doktrin tersebut disosialisasikan pada setiap penataran P-4. Sehingga, kalau ada yang berani mengemukakan wacana lain, pasti akan dilibas habis. Tetapi, setelah Orba ambruk, berbagai teori yang menggugat asal muasal Pancasila yang konon sakti itu, justru banyak bermunculan.

Di antara teori yang muncul itu mengatakan, bahwa sila-sila pada Pancasila ternyata memiliki kemiripan yang tak terbantahkan dengan asas Zionisme dan asas Freemasonry, seperti Monotheisme (Ketuhanan Yang Maha Esa), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).

Menurut Abdullah Patani, sang pemilik teori, kesamaan sila-sila pada Pancasila dengan kelima sila pada asas Zionisme dan asas Freemasonry, tidak terjadi secara kebetulan, namun merupakan proses panjang dan sistematis, dimana para tokoh-tokoh penggagas Pancasila (Soekarno, Soepomo, dan M. Yamin) sudah sejak lama menyerap nilai-nilai zionisme dan freemasonry itu. Juga Ki Hajar Dewantara, yang diklaim sebagai bapak pendidikan nasional.

Bahkan Ki Hajar Dewantara sudah memasukkan paham Freemasonry melalui lembaga pendidikan Taman Siswa yang sekuler. Sejak awal Taman Siswa menunjukkan kecenderungan yang sangat antipati terhadap agama Islam. Antara lain, penolakannya untuk memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum, dan menggantikannya dengan pendidikan budi pekerti.

Bung Karno adalah murid Ki Hajar Dewantara dan A. Baars. Sebagai murid, ia patuh mengikuti teori yang dicanangkan sang guru. Bahkan, A. Baars sebagai guru Bung Karno, dikenal sebagai seorang Belanda yang menjadi anggota Partai Komunis pada zaman Semaun. Maka bisa dimengerti, bila Pancasila yang kemudian digagas Bung Karno, bagai bersaudara kembar dengan 'pancasila' milik kalangan zionis dan freemasonry. Apalagi Bung Karno semasa hidup menunjukkan sikap penghargaan yang tinggi terhadap pemikiran Kemal Attaturk, salah seorang anggota freemasonry dari Turki. Bahkan Soekarno cenderung meneladani Kemal di dalam menghadapi Islam, yaitu melakukan tipudaya terhadap rakyat dan ulama Islam.

Karena itu, Pancasila yang digagas Soekarno bersama penyair Soneta Mohamad Yamin dan Soepomo merupakan tipudaya yang sangat nyata. Melalui Pancasila, Bung Karno dan tokoh-tokoh nasionalis sekuler ini menciptakan landasan pembenaran untuk menerapkan floatisme (salah satu doktrin freemasonry).

Maksud floatisme pada dasarnya menisbikan nilai-nilai agama, mengambangkan keyakinan umat beragama, dan mendorong pemeluk agama mencari titik persamaan dari agama-agama yang mereka anut. Sehingga yang muncul ke permukaan bukan ajaran murni agama, namun sekedar budi pekerti, atau semacam aliran kepercayaan yang tidak mempunyai syariah meski mengaku bertuhan yang maha esa.

Meski secara formal Soekarno beragama Islam, namun dia tidak lebih dari musang berbulu ayam bagi umat Islam. Pada masa Soekarno, terjadi perpindahan agama secara besar-besaran (ribuan orang) dari Islam ke Kristen (Protestan). Bahkan pemerintahan Soekarno mendanai badan-badan misionaris Kristen untuk menyebarkan agamanya, untuk melakukan Kristenisasi terhadap umat Islam. Lebih jauh, Soekarno mengizinkan Kristenisasi di kalangan militer atas biaya pemerintah.

Selain keberpihakannya kepada kristenisasi, Soekarno juga sangat membela komunis. Soekarno tahu, komunisme tidak bisa subur di Indonesia karena faktor Islam. Karena itu, pertama-tama yang harus dilumpuhkan adalah kekuatan revolusioner yang benar-benar hidup di masyarakat, yaitu kekuatan revolusioner Islam.

Caranya, mengirimkan tokoh-tokoh partai Masyumi dan Syarekat Islam ke dalam penjara. Karena, mereka selama ini telah menjadi kekuatan revolusioner yang paling nyata di dalam menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Bila Belanda dan Jepang bisa dilawan, apalagi cuma komunisme. Langkah Soekarno selanjutnya menerapkan doktrin Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).

Ketika itu Soekarno berdalih, kita akan berhadapan dengan neo kolonialisme, neo penjajah. Untuk menghadapinya, kalangan Islam harus menjalin kerja sama dengan komunis, sehingga tercipta kekuatan yang besar. Untuk itu konsep Nasakom diperlukan. Ternyata, bahaya neo kolonialisme cuma omong kosong, hanya tipu daya Soekarno. Karena konsep Nasakom sesungguhnya hanya untuk membuat komunisme berkembang semakin pesat.

Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa Soekarno hanya seorang penipu. Pertama, dia telah menipu dengan memberi kesan seolah-olah Pancasila itu hasil kerja kerasnya menggali nilai-nilai yang hidup di Indonesia. Padahal, sila-sila yang diperkenalkannya itu sama dengan sila-sila yaang pernah disampaikan Mohamad Yamin pada 29 Mei 1945. Dan sila-sila itu hanya karya contekan dari asas Zionisme dan Freemasonry yang diperolehnya dari berbagai literatur.

Kedua, dengan mengintrodusir Pancasila, Soekarno berusaha meredam pertumbuhan kehidupan beragama yang sehat. Sebab Pancasila pada dasarnya hanyalah floatisme yang diterapkan di Indonesia dengan nama lokal. Ketiga, melalui Pancasila Soekarno membawa bangsa Indonesia menerima paham komunis, melalui doktrin Nasakom. Upaya ini akhirnya gagal total. Maka, lahirlah Orde Baru dengan semangat floatisme yang sama. Orde Baru pun tumbang. Tampaknya kedua orde yang penuh laknat itu berlanjut hingga pemerintahan Abdurahman Wahid dan Megawati.



OPERASI INTELEJEN DI TUBUH UMAT ISLAM BANGSA INDONESIA

Oleh Umar Abduh
Sekjen CeDSoS (Center for Democtaric and Social Justice Studies), Jakarta.

Pengantar Redaksi
Tulisan berjudul Latar Belakang Gerakan Komando Jihad ini, berasal dari makalah yang disampaikan Umar Abduh pada forum “Diskusi Ahli: Penelitian Komando Jihad” yang diselenggaran oleh Tim Riset Pusham UII (Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta) dan Elsham (Jakarta), yang berlangsung pada tanggal 14 Februari 2006 di Hotel Jogja Plaza, Jogjakarta. Makalah tersebut dilengkapi dengan lampiran yang jumlah keseluruhannya mencapai 30 halaman lebih. Namun untuk keperluan publikasi di swaramuslim, lampiran tersebut tidak disertakan.

Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando Jihad ini, adalah petinggi NII (DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di sebuah pulau di Teluk Jakarta.

Boleh dibilang, gerakan Komando Jihad merupakan salah satu bentuk petualangan politik para pengikut SMK pasca dieksekusinya sang imam. Sebelumnya, pada Agustus 1962, seluruh warga NII (DI/TII) yang jumlahnya mencapai ribuan orang, mendapat amnesti dari pemerintah. Termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer, belum termasuk Haji Isma’il Pranoto (Hispran) dan anak buahnya, yang baru turun gunung (menyerah kalah kepada pasukan Ali Moertopo) pada 1974.

Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah[1] kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus 1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:
 
“Demi Allah, akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI 1945. Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan pikiran kami guna membantu Pemerintah RI cq alat-alat Negara RI. Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna dengan dijiwai Pantja Sila.” [2]


Sebagian kecil di antara mereka tidak mau bersumpah setia, yaitu Djadja Sudjadi, Kadar Shalihat, Abdullah Munir, Kamaluzzaman, dan Sabur. Dengan adanya ikrar tersebut, maka kesetiaan mereka kepada sang Imam telah bergeser, sekaligus mengindikasikan bahwa sebagai sebuah gerakan berbasis ideologi Islam, NII (DI/TII) sudah gagal total. Dan sisa-sisa gerakan NII pada saat itu (1962) dapat dikata sudah hancur lebur basis keberadaannya. Setelah tiga tahun vakum, ada di antara mereka yang berusaha bangkit melanjutkan perjuangan, namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima amnesti namun tidak mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.

Gerakan tersebut menamakan diri sebagai gerakan NII Fillah (bersifat Non Struktural). Kepemimpinan gerakan dijalankan secara kolektif oleh Kadar Shalihat dan Djadja Sudjadi. Munculnya kelompok Fillah atau NII non struktural ini, ditanggapi serius oleh pihak militer NKRI. Yaitu, dengan menciptakan “keseimbangan”, dengan cara melakukan penggalangan kepada para mantan “mujahid” NII yang pernah diberi amnesti dan telah bersumpah setia pada Agustus 1962 lalu. Melalui jalur dan kebijakan Intelejen, pihak militer memberikan santunan ekonomi sebagai bentuk welfare approach (pendekatan kesejahteraan) kepada seluruh mantan “mujahid” petinggi NII yang menyerah dan memilih menjadi desertir sayap militer NII.
 
Nama-nama Tokoh Penting di Belakang Gerakan Komando Jihad

Nama Danu Mohammad Hasan[3] yang pertama kali dipilih Ali Murtopo untuk didekati dan akhirnya berhasil dibina menjadi ‘orang’ BAKIN, pada sekitar tahun 1966-1967. Pendekatan intelejen itu sendiri secara resmi dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira OPSUS bernama Aloysius Sugiyanto.[4] Tokoh selanjutnya yang menyusul dibidik Ali Murtopo adalah Ateng Djaelani Setiawan.

Tokoh lain yang diincar Ali Murtopo dalam waktu bersamaan yang didekati Aloysius Sugiyanto adalah Daud Beureueh mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa ACEH tahun 1947 yang memproklamirkan diri sebagai Presiden NBA (Negara Bagian Aceh) pada 20 September 1953, dan menyerah, kembali ke NKRI Desember tahun 1962.

Selanjutnya pendekatan terhadap para mantan petinggi sayap militer DI-TII yang lain yang berpusat di Jawa Barat dilakukan oleh Ibrahim Aji, Pangdam Siliwangi saat itu.[5] Mereka yang dianggap sebagai “petinggi NII” oleh Ibrahim Aji itu di antaranya: Adah Djaelani dan Aceng Kurnia. Kedua mantan petinggi sayap militer DI ini pada saat itu setidaknya membawahi 24-26 nama (bukan ulama NII). Sedangkan mereka yang dianggap sebagai mantan petinggi sayap sipil DI yang selanjutnya menyatakan diri sebagai NII Fillah –antara lain adalah Kadar Shalihat, Djadja Sudjadi dan Abdullah Munir dan Kamaluzzaman– membawahi puluhan ulama NII.
 
Pengaruh dan Akibat Kebijakan Intelejen Ali Murtopo – ORDE BARU.

Baik menurut kubu para mantan petinggi sayap militer maupun sayap sipil NII, politik pendekatan pemerintah orde baru melalui Ibrahim Aji yang menjabat Pangdam Siliwangi tersebut, sangat diterima dengan baik, kecuali oleh beberapa pribadi yang konon menolak uluran pemerintah tersebut, yaitu Djadja Sudjadi[6] dan Abdullah Munir. Para mantan tokoh sayap militer dan sayap sipil DI selanjutnya menjadi makmur secara ekonomi. Hampir masing-masing individu mantan tokoh DI tersebut diberi modal cukup oleh Pitut Suharto berupa perusahaan CV (menjadi kontraktor) dilibatkan dalam proyek Inpres, SPBU atau agen Minyak Tanah.

Kebijakan OPSUS dan Intelejen selanjutnya menggelar konspirasi dengan meminta para mantan laskar NII tersebut mengkonsolidasikan kekuatan melalui reorganisasi NII ke seluruh Jawa dan Sumatra. Pada saat itu Ali Murtopo masih menjabat Aspri Presiden selanjutnya menjadi Deputi Operasi Ka BAKIN dan merangkap Komandan OPSUS ketika mendekati detik-detik digelarnya ‘opera’ konspirasi dan rekayasa operasi intelejen dengan sandi Komando Jihad di Jawa Timur. Dalam waktu yang bersamaan Soeharto menyiapkan Renstra (Rencana Strategis) Hankam (1974-1978) sebagaimana dilakukan ABRI secara sangat terorganisir dan sistematis melalui penyiapan 420 kompi satuan operasional, 245 Kodim sebagai aparat teritorial dan 1300 Koramil sebagai ujung tombak intelejen dalam gelar operasi keamanan dalam negeri yang diberi sandi Opstib dan Opsus.

Yang tidak boleh dilupakan, pada saat yang bersamaan di tahun 1971-1973 tersebut Ali Murtopo juga melindungi sekaligus menggarap Nurhasan al-Ubaidah Imam kelompok Islam Jama’ah yang secara kelembagaan telah dinyatakan sesat dan terlarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971, namun pada waktu yang sama justru dipelihara serta diberi kesempatan seluas-luasnya melanjutkan kiprahnya menyesatkan ummat Islam melalui lembaga baru LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) di bawah naungan bendera Golkar dan berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang berlanjut hingga sekarang.

Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan, ketika Ali Murtopo mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII, guna menghadapi bahaya laten komunis dari utara maupun dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Ide Ali Murtopo ini selanjutnya diolah Danu Mohammad Hasan dan dipandu Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak SMK) dan H.Isma’il Pranoto (Hispran).

Keberadaan dan latar belakang Pitut Suharto yang memiliki kedekatan hubungan pribadi dengan Andi Sele di Makassar, juga dengan H. Rasyidi [7] di Gresik Jawa Timur, pada tahun 1968 akhirnya ditugaskan Ali Murtopo untuk mengolah hubungan dan keberadaan para mantan petinggi NII yang sudah dirintisnya sejak 1965 tersebut dengan kepentingan membelah mereka menjadi 2 faksi.
Faksi pertama diformat menjadi moderat untuk memperkuat Golkar, dan faksi kedua diformat bagi kebangkitan kembali organisasi Neo NII.

Keterlibatan Pitut Suharto yang akhirnya dinaikkan pangkatnya menjadi menjabat sebagai Dir Opsus di bawah Deputi III BAKIN terus berlanjut, Pitut tidak saja bertugas untuk memantau aktifitas para mantan tokoh DI tersebut, tetapi Pitut sudah terlibat aktif menyusun berbagai rencana dan program bagi kebangkitan NII, baik secara organisasi maupun secara politik termasuk aksi gerakannya.

Ketika terjadi program-program pemberangkatan atau pengiriman pemuda (aktifis kader) Indonesia ke Timur Tengah –seperti Libya dan Saudi Arabia yang ujung-ujungnya terkait dengan konflik Moro (MNLF) dan kelompok perlawanan Aceh– Pitut Suharto-lah yang ditunjuk Ali Murtopo untuk mengantisipasi (memantau, mengurus dan menyelesaikan) masalah tersebut, sekalipun keberangkatan para kader aktifis Indonesia ke Libya tersebut terbukti hanya sebatas melakukan pelatihan militer semata.

Tetapi antisipasi yang dilakukan pihak pemerintah Indonesia pada saat itu terlampau maju dan cepat, sekitar tahun 1975 keberadaan kedutaan Libya di Jakarta dipaksa tutup. Tetapi skenario Opsus terhadap kebangkitan organisasi NII terus digelindingkan. Bahkan Pitut (pihak intelejen/orde baru) justru menggunakan isu politik Libya di mata Barat dan bangkitnya NII tersebut dijadikan sebagai isu sentral terkait dengan bahaya laten kekuatan ekstrem kanan di Indonesia.
 
Kebijakan Abbuse of Power Intelejen Ali Murtopo

Bersamaan dengan kebijakan itu (memanfaatkan situasi politik terhadap Libya tersebut) strategi Opsus yang dilancarkan melalui Pitut Suharto berhasil meyakinkan para Neo NII tersebut untuk sesegera mungkin menyusun gerakan jihad yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra untuk melawan dan merebut kekuasaan Soeharto. Semakin cepat hal tersebut dilaksanakan semakin berprospek mendapat bantuan persenjataan dari Libya, yang sudah diatur Ali Murtopo.

Berkat panduan Letnan Kolonel TNI AD Pitut Suharto[8] kegiatan musyawarah dalam rangka reorganisasi NII yang meliputi Jawa-Sumatra tersebut berlangsung beberapa hari, hal itu justru dilaksanakan di markas BAKIN jalan Senopati, Jakarta Selatan. Di sinilah situasi dan kondisi (hasil rekayasa BAKIN-Ali Murtopo dan Pitut Suharto melalui kubu Neo NII Sabilillah di bawah Daud Beureueh, Danu Mohammad Hasan, Adah Djaelani, Hispran dkk) berhasil didesakkan kepada kubu Fillah yang dipimpin secara kolektif oleh Djaja Sudajadi, Kadar Shalihat dan Abdullah Munir dkk untuk memilih kepemimpinan. Hasil musyawarah kedua kubu (Fillah dan Sabilillah ini) yang dilakukan pada tahun 1976 ini menetapkan, kepemimpinan NII diserahkan kepada Tengku Daud Beureueh sekaligus membentuk struktur organisasi pemerintahan Neo NII yang terdiri dari Kementrian dan Komando kewilayahan (dari Komandemen Wilayah hingga Komandemen Distrik dan Kecamatan) namun tanpa dilengkapi dengan Majelis Syura maupun Dewan Syura.

Provokasi dan jebakan OPSUS terhadap para mantan tokoh DI berhasil, Struktur organisasi NII kepemimpinan Daud Beureueh berdiri dan berlangsung di bawah kendali Ali Murtopo yang saat itu menjabat sebagai Deputi Operasi Ka BAKIN melalui Kolonel Pitut Suharto.

Gerakan dakwah agitasi dan provokasi neo NII Sabilillah sponsor Pitut dan Ali Murtopo mulai berkembang ke seantero pulau Jawa. Muatan dakwah, agitasi dan provokasi para tokoh Neo NII bentukan Ali Murtopo-Pitut Suharto hanya berkisar seputar pentingnya struktur organisasi NII secara riil. Karenanya kegiatan seluruh anggota kabinet Neo NII adalah melakukan rekrutmen melalui pembai’atan secepatnya untuk mengisi posisi pada struktur wilayah (Gubernur sekaligus sebagai Pangdam = Komandemen Wilayah) dan posisi pada struktur Distrik (Bupati sekaligus sebagai Kodim = Komandemen Distrik) seraya menebar janji akan segera memperoleh supply persenjataan dari Libya sebanyak satu kapal[9] yang akan mendarat di pantai selatan Pulau Jawa.

Sasaran rekrutmen (pembai’atan) dilakukan hanya sebatas mengisi posisi pada komandemen distrik struktur Neo NII, maka sasaran rekrutmen dipilih secara tidak selektif di antaranya adalah para tokoh pemuda Islam dan ulama atau kiai yang nota bene sangat awam politik maupun organisasi.

Tugas rekrutmen untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur dilakukan oleh H. Isma’il Pranoto dan H. Husein Ahmad Salikun. Di Jawa Timur aktifitas rekrutmen bagi kebangkitan Neo NII yang dilakukan oleh H. Isma’il Pranoto tersebut sama sekali tidak terlihat ada tindak lanjut apapun, baik yang berbentuk pelatihan manajemen dakwah dan organisasi maupun yang bersifat fisik baris berbaris, menggunakan senjata atau merakit bom. Tetapi hanya terhitung selang sebulan atau dua bulan kemudian, aparat keamanan dari Laksus tingkat Kodam, Korem dan Kodim menggulung dan menyiksa mereka tanpa ampun.

Jumlah korban penangkapan oleh pihak Laksusda Jatim yang digelar pada tanggal 6-7 Januari 1977 terhadap para rekrutan baru H. Isma’il Pranoto mencapai sekitar 41 orang, 24 orang di antaranya diproses hingga sampai ke pengadilan. H. Ismail Pranoto divonis Seumur Hidup, sementara para rekrutan Hispran yang juga disebut sebagai para pejabat daerah struktur Neo NII tersebut, baru diajukan ke persidangan pada tahun 1982, setelah “disimpan” dalam tahanan militer selama 5 tahun, dengan vonis hukuman yang bervariasi. Ada yang divonis 16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6 tahun penjara. H. Ismail Pranoto disidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri Surabaya tahun 1978 dengan memberlakukan UU Subversif PNPS No 11 TH 1963 atas tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat itu, Mayjen TNI-AD Witarmin[10]. Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa maker dari kalangan Islam.

Nama Komando Jihad sendiri menurut H. Isma’il Pranoto merupakan tuduhan dan hasil pemberkasan pihak OPSUS, baik pusat maupun daerah (atas ide Ali Murtopo dan Pitut Suharto). Sementara penyebutan yang berlaku dalam tahanan militer Kodam VIII Brawijaya – ASTUNTERMIL di KOBLEN Surabaya, mereka dijuluki sebagai jaringan Kasus Teror Warman (KTW). Sementara keberadaan Pitut Suharto sendiri sejak tanggal 6 Januari 1977 – saat dimulainya penangkapan terhadap H. Isma’il Pranoto dan orang-orang yang direkrutnya sebagai kelompok Komando Jihad– Pitut justru menyelamatkan diri ke Jerman Barat, dan baru kembali ke Indonesia setelah 6 atau 7 tahun kemudian.

Di Jawa Tengah sendiri aksi penangkapan terhadap anggota Neo NII rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun oleh OPSUS, seperti Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar Ba’asyir dan kawan-kawan berjumlah cukup banyak, sekitar 50 orang, akan tetapi yang diproses hingga sampai ke pengadilan hanya sekitar 29 orang. Penangkapan terhadap anggota Neo NII wilayah Jawa Tengah rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun berlangsung tahun 1978-1979.

Di Sumatera, aksi penangkapan secara besar-besaran berdasarkan isu Komando Jihad ini terjadi sepanjang tahun 1976 hingga tahun 1980, dan berhasil menjaring ribuan orang.

Sementara penangkapan terhadap para elite Neo NII –yang musyawarah pembentukan strukturnya dilakukan di markas BAKIN (jalan Senopati, Jakarta Selatan)– seperti Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, Aceng Kurnia, Tahmid Rahmat Basuki Kartosoewirjo, Dodo Muhammad Darda Toha Mahfudzh, Opa Musthapa, Ules Suja’i, Saiful Iman, Djarul Alam, Seno alias Basyar, Helmi Aminuddin Danu[11], Hidayat, Gustam Effendi (alias Ony), Abdul Rasyid dan yang lain dengan jumlah sekitar 200 orang, mereka ditangkap Laksus sejak akhir 1980 hingga pertengahan 1981. Namun dari sekitar 200 orang anggota Neo NII yang ditangkap OPSUS tersebut, hanya sekitar 30 elitenya saja yang dilanjutkan ke persidangan, selebihnya dibebaskan bersyarat oleh OPSUS termasuk beberapa nama yang menjadi tokoh komando KW-9 [12], kecuali satu nama tokoh, yaitu Menlu kabinet Neo NII yang bernama Helmi Aminuddin bin Danu.

Akan tetapi isu dan dalih keterkaitan dengan bahaya kebangkitan NII, Komando Jihad dan Teror warman berdasarkan hasil pengembangan penyidikan pihak keamanan terhadap mereka yang pernah ditangkap maupun yang diproses ke pengadilan, oleh pihak OPSUS digunakan terus untuk melakukan penangkapan-penangkapan secara continue dan konsisten.

Sekitar medio 1980 OPSUS Jawa Timur melakukan penangkapan terhadap 5 tokoh pelanjut Komandemen Wilayah Jawa Timur, Idris Darmin Prawiranegara. Kemudian dilanjutkan dengan penangkapan berikutnya pada medio 1982, terhadap orang-orang baru yang direkrut Idris Darmin di wilayah jawa timur dengan jumlah sekitar 26 orang.
 
Kesimpulan

Secara substansi, makna kebangkitan Neo NII yang lahir berkat dibidani dan buah karya operasi intelejen OPSUS tersebut, dengan demikian hal tersebut sangat tidak layak untuk dinilai dan atau diatasnamakan sebagai wujud perjuangan politik berbasis ideologi Islam (apalagi sampai dikategorikan sebagai jihad suci fie sabilillah).

Hakekat substansi dan orientasi kiprah gerakan reorganisasi yang dilakukan para mantan tokoh sayap militer NII tersebut adalah lebih didorong oleh dan dalam rangka memperoleh serta memperturutkan syahwat duniawi (materi dan kedudukan politis) kemudian bertemu-bekerjasama (bersimbiosis mutualistis) dengan para tokoh intelejen jahiliyah yang terkenal kebusukannya dan terkenal pula kerakusannya terhadap dunia (syahwat duniawi). Dengan demikian timbangan yang adil dan benar terhadap kasus Komando Jihad, Kebangkitan Neo NII maupun Fundamentalisme Jihad para mantan tokoh sayap militer DI tersebut merupakan wujud perjuangan atau pengorbanan yang bathil.

Hakekat orientasi dan substansi motivasi para pihak atau pribadi yang dilakukan karena semangat dan ketulusan untuk memperjuangkan Islam, yang tidak didorong dalam rangka memperoleh dan memperturutkan syahwat duniawi sebagaimana halnya sikap dan tindakan para mantan tokoh sayap sipil DI tersebut, hal itu menjadikan posisi mereka sebagai korban sekaligus menjadi bukti kebodohan mereka sendiri dalam bergama dan berpolitik akibat kebohongan, kebodohan dan kebathilan para mantan tokoh sayap militer DI sendiri dalam berpolitik dan beragama.

Seluruh bentuk kerugian atau efek samping apa saja yang muncul dan terkait akibat kebodohan dan pembodohan yang dilakukan atau menimpa masyarakat Neo NII dan Komando Jihad, terjadi akibat mengikuti efek domino dari provokasi dan agitasi para mantan tokoh sayap militer DI, yang secara sadar dan sepakat untuk dijebak dan diprovokasi oleh kebijakan intelejen OPSUS (orde baru). Oleh karenanya segala kerugian tersebut merupakan tanggungjawab mereka bersama (para korban Neo NII dan para subyek Neo NII maupun para aparat OPSUS) sekalipun bentuk dan wujud tanggungjawab masing-masing mereka berbeda-beda. Mengingat motivasi dan orientasi tanggungjawab ketiga pihak tersebut juga berbeda-beda, dalam pengertian:
 
  • Eksistensi pihak ke III, adalah orang-orang yang bersedia direkrut dan memposisikan dirinya sebagai para pihak yang secara sadar telah terdorong dan termotivasi untuk berjihad secara ikhlas dan ihsan di jalan Islam namun terperosok dan terlanjur masuk ke dalam struktur gerakan Neo NII. Mereka harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri untuk menyadari, menghentikan kesalahannya sendiri, selanjutnya bertanggung jawab untuk menentang kegiatan bodoh dan kekeliruan fundamental yang dilakukan pihak ke II - Neo NII. Selanjutnya posisi keberadaan mereka telah patut untuk disebut sebagai korban tak sadar dari abuse of Power, system dan kebijakan politik maupun intelejen Orde Baru. Namun secara Aqidah, ideology, syari’ah dan etika Islam mereka tidak diperkenankan melakukan penuntutan dalam bentuk apapun, baik terhadap pihak ke II maupun pihak ke I.
     
  • Pihak ke II adalah para pihak yang secara sengaja dan sadar menjalin hubungan dengan pihak ke I, yang dikenal dan dipahami sebagai pejabat intelejen militer sekaligus sebagai pejabat pemerintah dan Negara yang jahat, culas, bengis dan kejam. Selain itu secara hukum, perundangan dan ideologi antara pihak ke II dan pihak ke I adalah berhadap-hadapan, bahkan cenderung membenci, memusuhi dan menentang secara lahir bathin terhadap keberadaan perjuangan politik dan agama Islam. Dengan demikian bentuk dan wujud tanggungjawab yang harus dipikul dan dilakukan oleh pihak ke II menurut hukum, undang-undang dan etika Islam adalah melakukan tobat dan memohon maaf kepada Allah, juga kepada pihak ke III dan ummat Islam. Selanjutnya mereka wajib menghentikan dan meninggalkan peran buruknya sebagai mitra persekongkolan dalam tindak kejahatan politik dan kebijakan intelejen Orde Baru, sekalipun untuk itu mereka tidak mendapatkan bayaran sebagaimana halnya dahulu saat pertama kali menerima kesepakatan kerja dengan iblis dan atau setan intelejen tersebut.
     
  • Pihak ke I terdiri dari para pihak yang berada dalam posisi sebagai aparat territorial, sejak dari tingkat Kodim, Korem hingga Kodam yang pada masa itu disebut sebagai aparat Laksusda (DenSatgas Intel atau Intel Balak = Intelejen Badan Pelaksana) yang bertugas melakukan penangkapan, penyiksaan hingga pemberkasan terhadap jaringan gerakan Islam (Neo NII, Komando Jihad, Teror Warman, Teror Imran* dan Usrah) yang menjadi target obyek operasi intelejen. Pihak berikutnya adalah para pemrakarsa, pembuat scenario dan sutradara dari operasi intelejen yang dirancang oleh sayap intelejen yang berkuasa penuh di bawah struktur Kopkamtib.

    Pihak ke I bisa juga disebut sebagai kekuatan bayangan dari struktur kekuasaan yang ada saat itu namun diformat memiliki kewenangan penuh untuk merancang program, mekanisme dan pengelolaan (mengendalikan) terhadap perjalanan system politik, ekonomi dan pemerintahan yang berlaku. Pihak ke I sangat dimungkinkan untuk melakukan kerjasama dan menerima order, baik dari penguasa domestic maupun asing, mengingat hukum Politik, kepentingan kekuasaan dan intelejen selalu mengglobal, sesuai peta dan kubu ideology yang eksis di dunia atau berlaku universal. Oleh karena itu pihak ke I diberi kewenangan luar bisa, baik dalam menyusun grand scenario hingga tingkat pelaksanaan (juklak) yang dilakukan secara rahasia dan rapi, selanjutnya dikordinasikan penerapan aturan mainnya dengan lemhannas dan departemen-departemen maupun kementrian. Dengan demikian tugas, peran dan keberadaan pihak ke I menurut garis besar haluan negara merupakan hal yang legal dan wajar, sekalipun untuk kepentingan itu harus mengorbankan apa saja (abuse of power: terhadap demokrasi dan HAM) atau membuat sandiwara dan rekayasa apa saja. Itulah hukum yang berlaku dalam dunia politik, kepentingan kekuasaan dan intelejen.

    Selanjutnya pihak ke I adalah para pihak yang menjadi inisiator membangkitkan neo NII, memberikan stigma kepada ummat Islam, menciptakan beban psikologis kepada ummat Islam Indonesia yang hingga kini diposisikan sebagai produsen gerakan radikal bahkan pelaku teror. Sebagai aparat negara seharusnya mereka menggali potensi rakyat dan memberdayakan potensi tersebut ke tempat semestinya, bukan justru dijadikan instrumen politik untuk menggapai kekuasaan dan atau mempertahankan kekuasaan.

    Secara aqidah, syari’ah dan etik Islam, peran dan keberadaan Pihak ke I telah sesuai dengan standar dari sifat dan wujud system kekuasaan dictatorial, dzhalim dan kuffar. Karenanya segala bentuk kejahatan, tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan Pihak ke I terhadap pihak II dan pihak ke III hanya dipandang salah dan dapat dituntut atau dikenakan sanksi hukum berdasarkan hukum dan undang-undang internasional yang berwujud Declarations Of Human Right.

    Atas kesalahan dan keterlibatan Militer dan intelejen secara serius dan mendetil dalam dunia politik praktis, maka Pihak ke I harus bertobat kepada Allah Tuhan semua manusia, seraya memohon maaf kepada ummat Islam yang telah diperdaya dan didzhaliminya, bahkan Pihak ke I harus memohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, karena telah memasyarakatkan budaya konflik horizontal yang keberlangsungannya terus terjadi hingga sekarang.

 
* Keterangan Tambahan Mengenai Teror Imran

Munculnya kasus Jama’ah Imran pada pertengahan tahun 1980 berlangsung melalui proses yang berdiri sendiri. Dalam artian, tidak ada keterkaitan dan tidak ada hubungan –baik secara ideologi, fiqh maupun sikap dan warna politik– dengan eksistensi gerakan Neo NII atau Komando Jihad dan Teror Warman.

Memang sempat terjadi “interaksi” antara anggota Jama’ah Imran dengan beberapa elite KW-9 (Komandemen Wilayah 9) dalam struktur Neo NII atau Komando Jihad hasil ciptaan Ali Murtopo dan Pitut Suharto tersebut.

Bentuk “interaksi” yang terjadi pada akhir 1980-an itu, bukanlah “interaksi” yang kooperatif tetapi justru saling kecam dan saling ancam. Hal ini terjadi, karena H.M. Subari (alm) yang merupakan elite (orang struktur) Neo NII KW-9 pernah mengatakan, “dalam satu wilayah tidak boleh ada 2 Jama’ah dan 2 Imam yang berlangsung secara bersamaan, kecuali salah satunya harus dibunuh.”

Hal ini perlu penulis sampaikan, untuk menepis salah kaprah –selaligus untuk mempertegas– bahwa tidak ada kaitan apapun antara Jama’ah Imran dengan Gerakan Neo NII pasca SMK.
 
FOOTNOTE


[1] Padahal, amanat/wasiat sang imam (SMK) adalah tidak boleh menyerah.

[2] Rahmat Gumilar Nataprawira, RUNISI (Rujukan Negara Islam Indonesia). Dipertegas juga oleh pernyataan lisan dari Abdullah Munir dan tertulis dari Abdul Fatah Wirananggapati (pemegang amanah KUKT dari SMK 1953).

[3] Mantan Panglima Divisi atau Komandan Resimen DI-TII, pada saat sidang pengadilan Militer – MAHADPER, Agustus 1962 mengaku salah dan memberi kesaksian yang isinya menyalahkan sikap dan kebijakan politik SM Kartosoewiryo. Hubungan ini kemudian memberi OPSUS bunga menguntungkan yang tidak disangka-sangka. “Saya berperan sebagai petugas pengawas Danu,” kenang Sugiyanto, “dan di bulan Maret 1966, kami menggunakannya dan anak buahnya untuk memburu anggota BPI yang sedang bersembunyi di Jakarta.” Selanjutnya sejak tahun 1971, Danu Muhammad Hasan dan Daud Beureueh sering terlihat di jalan Raden Saleh 24 Jakarta Pusat (salah satu kantor Ali Murtopo), terkadang di Jalan Senopati (Kantor BAKIN), ada kalanya di Tanah Abang III (Kantor CSIS).

[4] Menurut Sugiyanto hubungan ini kemudian memberi OPSUS bunga menguntungkan yang tidak disangka-sangka. “Saya berperan sebagai petugas pengawas Danu,” kenang Sugiyanto, “dan di bulan Maret 1966, kami menggunakannya dan anak buahnya untuk memburu anggota BPI yang sedang bersembunyi di Jakarta.” (lebih jelasnya lihat Kenneth Conboy, Intel: Inside Indonesia’s Inteligence Services).

[5] Seperti pengakuan Ules Suja’i: “Soal pak Adah yang santer diisukan menerima jatah minyak dari militer, memang dulu itu saya tahu pak Adah pernah menerima jatah minyak dan oli dari RPKAD (KOPASSUS sekarang, pen), karena setiap pasukan itu kan memiliki jatah dari Pertamina, nah oleh RPKAD jatah tersebut diberikan ke pak Adah. Itu mah lewat perjuangan. Saya sendiri dengan pak Adah memang pernah dipanggil oleh Ibrahim Aji mendapat surat supaya dibantu oleh Pertamina lalu masuk ke Pertamina pusat jawabannya kurang memuaskan, malah kalau saya sendiri sampai ke WAPERDAM sampai ketemu Khaerus Shaleh, ya Alhamdulillah berhasil.”

[6] Djadja Sudjadi akhirnya tewas dibunuh Ki Empon atas perintah Adah Djaelani. Ironisnya, hingga akhir hayatnya Ki Empon meninggal dalam keadaan miskin dan serba susah sedangkan Adah Djaelani hidup terpandang dan lumayan sejahtera sebagai petinggi yang lebih dihormati dari AS Panji Gumilang di lingkungan mabes NII di Ma’had Al-Zaytun, Indramayu.

[7] H. Rasyidi, adalah bapak kandung Abdul Salam alias Abu Toto alias Syaikh A.S. Panji Gumilang, yang kini menjadi syaikhul Ma’had Al-Zaytun yang dikenal sebagai “mabes” NII yang kental dengan nuansa misteri intelejen. Abu Toto alias Abdul Salam Panji Gumilang sendiri sejak mahasiswa menjadi kader intelejen kesayangan Pitut Suharto.

[8] Pitut Suharto pensiun dengan pangkat Kolonel, kini berdomisili di Surabaya.

[9] Janji serupa ini juga berulang pada diri Nur Hidayat, provokator kasus Lampung (Talangsari) yang terjadi Februari 1989. Nur Hidayat dkk ketika itu yakin sekali bahwa rencana makarnya pasti berhasil karena akan mendapat bantuan senjata satu kapal yang akan mendarat di Bakauheni, Lampung.

[10] Witarmin, menurut penuturan H Isma’il Pranoto di masa pergolakan DI-TII adalah sebagai komandan Batalyon 507 Sikatan yang sempat dilucuti oleh pasukan TII di bawah komando H. Ismail Pranoto.

[11] Helmi Aminuddin adalah putera Danu Mohammad Hasan, yang pada awal 1980-an membentuk komunitas Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin versi Indonesia), yang merupakan cikal-bakal PK (Partai Keadilan). Kini PK menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

[12] Pada tahun 1984, para para elite NII Komandemen Wilayah IX (yang ditangkap OPSUS pada pertengahan tahun 1980 hingga pertengahan tahun 1981, bersama dengan para pimpinan Neo NII, Adah Djaelani-Aceng Kurnia) dibebaskan bersyarat dari Rumah tahanan militer Cimanggis, tanpa melalui proses hukum (Pengadilan), mereka itu adalah: Fahrur Razi, Royanuddin, Abdur Rasyid, Muhammad Subari, Ahmad Soemargono SE, Amir, Ali Syahbana, Abdul Karim Hasan, Abidin, Nurdin Yahya dan Muhammad Rais Ahmad, Anshory dan Helmi Aminuddin bin Danu M Hasan

LOGICAL FALACY

Logical Fallacy… apa itu Logical Fallacy? Logical Fallacy berarti kesesatan pemikiran berlogika. Kalau disederhanakan, logical fallacy berarti pendapat yang tujuan akhirnya adalah misleading point. Akhirnya para pihak yang sedang berpendapat jadi hilang arah dan fokus, tentang apa yang dibicarakan. 
Why do i keep this up? Logical Fallacy sering kita dengar sehari-hari, melalui magic box yang memiliki layar berwarna-warni bernama televisi. Siapa pelakunya?kebanyakan politisi dan pengacara. Apa tujuannya? menggiring opini publik, memenangkan debat kusir, provokasi, berkelit di persidangan (khusus pengacara)
Itu sedikit mukadimah tentang logical fallacy. Sebenarnya bukan hal yang tidak mungkin jika kita malah sudah terbiasa melakukan ini, sengaja atau tidak. Kayaknya semakin dini kita paham mengenai logical fallacy ini, makin baik dan makin matang diri kita dalam menghadapi perbedaan pendapat. Mufakat itu bisa terlahir apabila perdebatannya sehat dan keep on track, ga melebar ke sana ke mari.
Penggunaan logical fallacy bisa membuat seseorang memenangkan pendapatnya dalam melawan orang lain. Namun, alangkah baiknya apabila kita membiarkan pendapat yang bagus dan solutif memenangkan dirinya sendiri. Ga usah lah ditambahin pengantar macam-macam.
Oiya, inilah macam-macam logical fallacy, check it and avoid it :
1. Argumentum ad Hominem
  Argumentum ad Hominem adalah bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang disampaikan oleh orang lain tetapi justru menuju pada pribadi si pemberi argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat-pikir ketika ia ditujukan menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan. Kalimat populernya adalah: shoot the messenger, not the message. Ada banyak bentuk ad hominem, namun yang paling umum dan dijadikan contoh di sini adalah ad hominem cercaan. Ad hominem termasuk dalah satu sesat-pikir yang paling sering dijumpai dalam debat dan diskusi politik, yang biasanya akan membawa topik ke dalam debat kusir yang tak ada ujung pangkal.
Catatan Tambahan: Ad hominem tidak sama dengan penghinaan, celaan, atau cercaan. Sejatinya, ad hominem ada dalam premis dan pengambilan kesimpulan berupa logika yang langsung mengarahkan argumennya pada seseorang dibalik suatu argumen. Dan tendensinya bisa saja bukan merupakan penghinaan, namun hanya mengkaitkan dua hal yang tidak berhubungan sama sekali. Sederhananya, bisa dikatakan ad hominem jika itu berupa premis dan kesimpulan, untuk menjatuhkan argumen lawan.
Contoh: Kepada anggota dewan yang terhormat, harus saya ingatkan bahwa ketika Bung anggota Fraksi Merdeka yang menanyai saya ini memegang jabatan, tingkat pengangguran berlipat ganda, inflasi terus-menerus melonjak, dan harga sembako naik drastis. Dan Bung ini masih berani menanyai saya tentang masa depan proyek sekolah gratis ini. (cara yang berbelit-belit untuk mengatakan “no comment”, namun juga sekaligus menyerang lawan)
2. Red Herring
  Red Herring adalah argumen yang tak ada sangkut-pautnya dengan argumen lawan, yang digunakan untuk mendistraksi atau mengalihkan perhatian orang dari perkara yang sedang dibahas, serta menggiring menuju kesimpulan yang berbeda. Sesat-pikir ini biasanya akan keluar jika seseorang tengah terdesak. Ia akan langsung melemparkan umpannya ke topik lain, di mana topik lain ini sukar dihindari untuk tidak dibahas. Itu karena biasanya pemilihan topik lain itu ‘baunya’ cukup kuat seperti perumpamaan ikan merah (red herring) atau terasi bagi orang Indonesia (meminjam istilah Herman Saksono), antara lain topik yang aktual atau isu yang cukup dengan lawan debat atau audiens.
Contoh:
Andi: Polisi harusnya menindak tegas para aktivis lingkungan yang berdemo hingga menyebabkan macet di beberapa ruas jalan.
Badu: Anda merasa makin panas dan gerah saat macet kan? Kita harus peduli dengan isu global warming itu, bagaimana opini Anda?
(ketika Andi mengemukakan opininya tentang global warming, maka jatuhlah ia ke dalam topik baru)
3. Straw Man
  Straw Man yaitu argumen yang membuat sebuah skenario yang dengan suatu imej yang menyesatkan, kemudian menyerangnya. Untuk membuat ‘manusia jerami’ (straw man) adalah dengan membuat ilusi telah menyangkal suatu proposisi dengan mensubstitusinya dengan sesuatu yang mirip namun dangkal dan mudah diserang, tanpa pernah benar-benar menyangkal argumen lawan yang sebenarnya. Seperti namanya, manusia jerami adalah sasaran yang empuk dan mudah untuk diserang. Menyerang manusia jerami yang diciptakan dari manipulasi argumen lawan akan membuat argumen diri sendiri terlihat kuat dan bagus. Pada umumnya, selain terdapat dalam kampanye, manusia jerami ini akan dikeluarkan setelah lawan selesai bicara mengenai perkara yang dibahas.
Contoh:
Tono: Kita harus mengendurkan lagi status hukum ganja.
Rudi: Tidak. Obat-obatan terlarang itu akan merusak generasi muda kita.
(kalimat ‘obat-obatan terlarang yang merusak’ adalah manusia jerami untuk menggantikan menyerang ‘ganja’)
4. Guilt by Association
  Guilt by Association berciri-ciri tipe generalisasi umum–yang terlalu cepat mengambil kesimpulan–yang meyakini bahwa sifat-sifat suatu hal berasal dari sifat-sifat suatu hal lain. Sesat-pikir ini bisa berupa ad hominem, biasanya dengan menghubungkan argumen dengan sesuatu hal diluar argumen itu, kemudian menyerang si pembuat argumen. Ini adalah bentuk ekstrim dari majas Totum pro parte yang mana berupa seolah-olah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. Intinya adalah mencari kesalahan seseorang dari apa saja yang berkaitan dengannya, lalu jadikan hal tersebut argumen untuk menjatuhkannya.
Contoh:
Gusdur banyak bergaul dengan golongan sekuler. Golongan sekuler itu kebanyakan berasal dari Amerika. Pasti Gusdur adalah seorang liberal dan antek-antek Amerika.
(lihat bagaimana dengan mudah menggeneralisasikan seseorang berdasarkan hubungannya dengan hal lain)
5. Perfect Solution Fallacy
  Perfect Solution Fallacy adalah sesat-pikir yang terjadi ketika suatu argumen berasumsi bahwa sebuah solusi sempurna itu ada, dan sebuah solusi harus ditolak karena sebagian dari masalah yang ditangani akan tetap ada setelah solusi tersebut diterapkan. Asumsinya, jika tidak ada solusi sempurna, tidak akan ada solusi yang bertahan lama secara politik setelah diimplementasi. Tetap saja, banyak orang tergiur oleh ide solusi sempurna, mungkin karena itu sangat mudah untuk dibayangkan.
Contoh:
Penerapan UU Pornografi ini tidak akan berjalan dengan baik. Pemerkosaan akan tetap terjadi.
(argumen yang tidak memperhatikan penurunan tingkat kriminalitas asusila)
6. Argumentum ad Verecundiam
Argumentum ad Verecundiam terjadi ketika mengacu pada seseorang yang dianggap positif sebagai pakar atau ahli sehingga apa yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. Otoritas kepakaran seseorang yang mengucapkan suatu hal tersebut kemudian otomatis diakui sebagai sesuatu yang pasti benar, meskipun otoritas itu tidak relevan
Contoh:
Banyak ahli mengakui kapitalisme itu telah runtuh dan banyak boroknya. Jadi mana yang sebaiknya saya percaya, para ahli terkemuka itu atau Anda yang kuliah saja belum lulus?
(tembakan plus ad hominem, dan ya, bisa juga menambahkan sederet nama orang terkenal dalam argumennya)
7. Poisoning the Well
Poisoning the Well adalah sesat-pikir yang mencegah argumen atau balasan dari lawan dengan cara membuat lawan dianggap tercela dengan berbagai tuduhan bahkan sebelum lawan sempat bicara. Teknik meracuni sumur ini lebih licik dari sekadar mencela lawan karena akan membuatnya menghina diri sendiri karena menyambut argumen yang telah diracuni tersebut.
Contoh:
Kami menduga Sintong akan melakukan negative campaign untuk menjatuhkan Gerindra.
(dan apa yang Sintong tulis tentang Prabowo dalam bukunya akan dianggap sebagai upaya menjatuhkan Gerindra)
8. Argumentum ad Temperantiam
Argumentum ad Temperantiam adalah kesesatan yang menyatakan bahwa pandangan pertengahan adalah sesuatu yang benar tanpa peduli nilai-nilai lainnya. Serta juga menganggap jalan tengah sebagai pertanda kekuatan suatu posisi. Meskipun dapat menjadi nasihat yang bagus, namun kesesatannya disebabkan karena ia tak punya dasar yang kuat dalam argumen karena selalu berpatokan bahwa jalan tengah adalah yang benar. Penggunaannya kadang dengan membuat-buat posisi lain sebagai posisi yang ekstrim.
Contoh:
Daripada mendukung komunisme atau mendukung kapitalisme, lebih baik ideologi Pancasila yang merupakan jalan tengah keduanya.
(sedikitpun tidak menjabarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem)
9. Ipse-dixitism
Ipse-dixitism adalah argumen dengan dasar keyakinan yang dogmatis. Seseorang yang menggunakan Ipse-dixitism mengasumsikan secara sepihak premisnya sebagai sesuatu yang disepakati, padahal tidak demikian. Premis yang diajukan dalam argumen seolah-olah merupakan fakta mutlak dan telah disepakati bersama kebenarannya, padahal itu hanya dipegang oleh pemberi argumen, tidak bagi lawannya. Sesat-pikir ini akan berujung pada debat kusir.
Contoh: Ideologi liberalis dan kapitalis telah terbukti gagal dan hanya menyengsarakan rakyat, karena itu harus diganti dengan sistem spiritual.
(ideologi yang gagal itu belum disepakati lawan bicaranya, jadi bagaimana langsung dapat menggulirkan solusi?)
10. Proof by Assertion
Proof by Assertion adalah kesesatan dimana suatu argumen terus-menerus diulang tanpa mengacuhkan kontradiksi terhadapnya. Kadang ini diulang hingga diskusi pun jenuh, dan pada titik ini akan dianggap sebagai fakta karena belum dikontradiksi. Sesat-pikir ini sering digunakan sebagai retorika oleh politikus, atau dalam debat sebagai usaha menggagalkan penetapan suatu undang-undang dengan pidato yang amat panjang dan tak habis-habis. Dalam bentuk yang lebih ekstrim lagi, juga bisa menjadi salah satu bentuk pencucian otak. Penggunaannya dapat diamati dari penggunaan slogan politik yang terus-menerus diulang.
Contoh:
Tapi Bapak Menteri, seperti yang telah saya jelaskan selama dua bulan terakhir ini, tak mungkin kita memotong anggaran biaya departemen ini. Tiap posisi dan jabatan di dalamnya amat penting bagi efesiensi kerja dan prestasi departemen. Lihat saja office boy yang selalu mengantarkan kopi, atau mereka yang memunguti penjepit kertas di ruang kerja, maka blablablablablaaa…
[dan seterusnya, berbelit-belit] (selama dua bulan cuek terhadap argumen balasan dan terus mengulang perkara yang sama)
11. Two Wrongs Make a Right
Two Wrongs Make a Right adalah kesesatan yang terjadi ketika diasumsi bahwa jika dilakukan suatu hal yang salah, tindakan salah yang lain akan menyeimbanginya. Sesat-pikir ini biasa digunakan untuk menggagalkan tuduhan dengan menyerang tuduhan lain yang juga dianggap salah.
Contoh:
Dedi: Soeharto merebut kekuasaan dari Bung Karno dan akhirnya ia berkuasa dengan tangan besi.
Amir: Tapi Soekarno juga mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup!
(ya, tapi itu bukan berarti apa yang dilakukan Soeharto itu benar)
12. Argumentum ad Novitam
Argumentum ad Novitam muncul ketika sesuatu hal yang baru dapat dikatakan benar dan lebih baik, dengan mengasumsikan penggunaan hal yang baru berbanding lurus dengan kemajuan zaman dan sama dengan kemajuan baru yang lebih baik. Sesat-pikir ini selalu menjual kata ‘baru’, dengan menyerang suatu hal yang lama sebagai hal yang gagal dan harus diganti dengan yang lebih baru.
Contoh: Mengganti golongan tua dengan golongan muda serta wajah baru di parlemen akan membuat negara ini lebih baik.
(tapi masalah seperti korupsi bukan perkara tua atau muda)
13. Argumentum ad Antiquitam
Kebalikan dari Argumentum ad Novitatem, ketika sesuatu benar dan lebih baik karena merupakan sesuatu yang sudah dipercaya dan digunakan sejak lama. Argumen ini adalah favorit bagi golongan konservatif. Nilai-nilai lama pasti benar. Patriotisme, kejayaan negara, dan harga diri sejak puluhan tahun silam. Sederhananya, sesat-pikir ini adalah kebiasaan malas berpikir. Dengan selalu berpatokan bahwa cara lama telah dijalankan bertahun-tahun, maka itu dianggap sesuatu yang pasti benar.
Contoh:
PDI-Perjuangan telah memperjuangkan nasib wong cilik sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, maka pilihlah moncong putih.
(berpuluh-puluh tahun berjuang, lalu apa hasilnya?)
14. False Dichotomy 
False Dichotomy atau False Dilemma terjadi apabila argumen hanya melibatkan dua opsi, yang seringkali berupa dua titik ekstrim dari beberapa kemungkinan, di mana masih ada cara lain namun tidak disertakan ke dalam argumen. Biasanya sesat-pikir ini menyempitkan opsi menjadi dua saja, walaupun masih ada opsi lain. Bahkan kadang-kadang menyempitkan opsi menjadi satu, sehingga seolah-olah mau tidak mau harus menyetujuinya.
Contoh: Sistem pendidikan yang fraksi kami ajukan harus segera disahkan dan dilaksanakan, jika tidak, kemerosotan moral pasti akan menghinggapi generasi muda kita.


Selasa, 20 Mei 2014

KEWAJIBAN BERTAUHID 2

SYAHADAT MUNJIN

Untuk menjadi orang yang beriman tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Syahadatain, karena masalah keimanan bukan masalah lahiriyah melainkan masalah hati atau kejiwaan. Oleh karenanya didalam mengucapkan syahadatain harus pula dijiwai dengan benar. Syahadatain yang dijiwai secara benar ini disebut Syahadat Munjin.
Syahadat ini pulalah yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di akhirat..

Adapun yang dimaksud Syahadat Munjin adalah Syahadatain yang disertai dengan:

1. Ma'rifat, hati mengakui bahwa Alloh adalah tuhan dan Muhammad adalah utusan Alloh..
2. Idz-Dzian, hati menerima bertuhankan Alloh dan menerima kerasulan nabi Muhammad.
3. Qobul, hati menerima seluruh ajaran Alloh dan Rosulnya, sehingga menjadi pedoman hidup.
4. Lafadz, materi kata yang diucapkannya harus bahasa arab, tidak dapat diganti dengan bahasa yang lain sekalipun bahasa penggantinya sama maknanya.


1. Ma’rifat
Dalam mengucapkan Syahadatain harus disertai dengan hati yang ma’rifat.
Yakni yang disertai dengan :

1. Idrokun jazimun; meyakinkan dengan sangat pasti sehingga tidak ada keraguan bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad utusan Alloh.
2. Muwafiqun Lil Waqi’i; apa yang diyakinkininya sesuai dengan kenyataan.
Alloh yang diyakininya adalah Alloh yang sebagaimana disebutkan dalam ilmu tauhid, tidak beranak dan tidak pula diperanakan.
3. Nasyiun Andalilin; meyakinkan kepada adanya Alloh disertai dengan argumentasi(dalil) yang dapat mempertahankan keyakinannya. Baik itu dalil ‘aqli ataupun dalil naqli.

Adapun yang harus dima’rifatkannya adalah :

1. Dzat Alloh dan sifat-sifatnya.
2. Dzat Rosul dan sifat-sifatnya.
3. Yang Mumkin di Alloh dan di Rosul.
4. Yang Wajib dan yang mustahil di Alloh dan di Rosul

2. Idz-Dzi’an

Untuk dapat disebutkan seorang mu’min tidaklah cukup hanya dengan mengucapkan Syahadatain dan ma’rifat. Melainkan harus pula disertai dengan pengakuan bahwa Alloh adalah tuhanku dan nabi Muhammad adalah rosulku. Jadi apabila ada orang yang meyakinkan bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad adalah Rosul Alloh, tetapi tidak menerima ketuhanan kepada Alloh dan tidak mengakui berRosul kepada nabi Muhammad. Dihadapan Alloh tidak termasuk kepada orang yang beriman.


3. Qobul
Begitu pula tidak termasuk kepada orang mumin. Orang yang tidak menerima ajaran Alloh dan RosulNya, walaupun telah Marifat dan Idz-Dzi’an tetapi apabila hatinya tidak menerima ajaran Alloh dan RosulNya, sekalipun dia melaksanakan ajaran Alloh dan RosulNya.
Sebagai bukti bahwa dia telah Qobul harus berani mengikrarkan :

رضيت بالله ربا وبالاسلام دينا وبمحمد نبيا ورسولا وبالقرانااماما وبالمومنين اخوانا
Artinya:
Aku ridho (mengakui dan menerima) kepada Alloh aku bertuhan, dan Islam sebagai agamaku, dan kepada nabi Muhammad aku bernabi dan berosul dan kepada AlQur’an berpedoman dan kepada orang-orang mukmin aku bersaudara.

Orang yang Marifat, Idz-Dzi’an, Qobul dan mengucapkan Syahadatain, tetapi tidak melaksanakan ajaran-ajaran Islam, namanya Mu’min Fasiq. Orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam seperti Sholat, puasa dan sebagainya, tetapi hatinya tidak Ma’rifat, Idz-Dzi’an dan Qobul, namanya Kafir Munafiq.


TINGKATAN IMAN
Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Al-Hadist bahwa Iman seseorang itu kadang bertambah kadang berkurang. Maka para Ulama mengevaluasikan iman tersebut dengan lima tingkatan sebagai berikut:

1. Iman Taqlid; yaitu imannya orang yang tidak beralasan, tidak mempunyai dalil/argumentasi, hanya mengikuti orang lain, tetapi hatinya yakin dan jazim kepada adanya Alloh.
2. Iman Ilmu; yaitu imannya seorang mukallaf yang telah mengetahui dalil yang benar, namun belum menjiwai keimanannya, sehingga ahluttashauf memberi nama “Mahjubun”
3. Iman Iyan; yaitu imannya seseorang yang disertai Ma’rifat dan Tashdiq, yang menjiwai sifat sam’a bashorNya Alloh sehingga jiwanya selalu meraa didengar Alloh dan berdiam di maqom Moroqobah.
4. Iman Haqiqot; yaitu imanya seseorang yang mempunyai jiwa yang mendalam. Hatinya mampu menerobos ke maqom musyahadah, yang apabila melihat makhluk hatinya tidak pada yang dilihatnya melainkan ingat kepada yang menciptakannya. Tingkatan ini ini disebut pula Iman Haqqul Yaqin yang kontaknya dengan sifat Qudrot Alloh.
5. Iman Haqiqotul Haqiqot; yaitu imannya para Rosul. Hal ini ahli Ushul tidak memberikan ta’rif.

Selasa, 06 Mei 2014

SOEKARNO AGEN 007 JAMES BOND INDONESIA

Nikita Khruschev, pemimpin tertinggi Uni Soviet sebelum Leonid Brezhnev, menulis dalam buku hariannya: “Presiden Soekarno sangat cerdas, sekaligus punya otak. Berbeda dengan pemimpin dunia lainnya, yang cerdas tapi tidak punya otak, meski kalau punya otak, tidak cerdas.”

Kunjungan Nikita Khruschev di penghujung 1959-an itu, mendapat kunjungan balasan dari Presiden Soekarno. Sepulang dari Moskow, Soekarno memerintahkan pembangunan MONAS dan Stadion Senayan, padahal negara sedang pailit dan rakyat dilanda kelaparan. Konon Soekarno terinspirasi oleh stadion Moskow yang gagah itu. Tapi apa sesungguhnya yang terjadi saat Presiden Soekarno berada di Moskow?

Sudah menjadi kebiasaan bahwa departemen psikologi KGB sangat antusias mengamati tingkah-laku raja-raja dan para Presiden di seluruh dunia. Bagi KGB, Presiden Soekarno sangat mudah ditaklukkan. Soekarno punya kelemahan fatal, yaitu sangat menggemari wanita.

Soekarno tahu wanita-wanita mana yang mampu memberikan kepuasan dahsyat di ranjang.

Sekali Soekarno merayu, maka sang wanita akan menjadi kekasihnya. Dewi Soekarno seorang pelacur kelas tinggi dari Jepang, memberikan pengakuan sebagai berikut: “...Bapak adalah pria paling perkasa. Dari sekian banyak pria, hanya Soekarno-lah yang paling hebat di tempat tidur.”

KGB menyediakan kamar khusus untuk Soekarno di Moskow. Soekarno ditemani oleh seorang wanita super cantik dan super seksi yang boleh digaulinya di tempat tidur. Wanita itu adalah seorang pelacur kelas tinggi yang khusus untuk melayani tamu negara, direkrut sebagai agen rahasia oleh departemen pelacuran dalam organisasi KGB. Dari balik kaca atau cermin, terpasang kamera film yang merekam hubungan badan antara Presiden Soekarno dengan seorang pelacur (agen KGB).

Presiden Soekarno diajak bersama-sama untuk menonton film tersebut. Agen KGB itu memberitahukan bahwa semua ini sudah diatur. Mereka memiliki ribuan pelacur yang terlatih. Rekaman ini bisa diedarkan dan diputar di depan bangsa Indonesia agar Presiden Soekarno jatuh martabatnya. Tapi kalau bendera komunisme dan ajaran Marxisme terus berkibar dan berkembang di Indonesia, rekaman tersebut akan dumusnahkan. Mereka punya beberapa copy dan siap diedarkan di bagian dunia manapun.

Akhirnya Soekarno mengizinkan PKI berkibar di Indonesia dengan konsep Nasakom. Ini yang ditolak oleh Sumatera Barat. Rakyat Sumatera Barat berontak melawan Soekarno. Amerika Serikat lewat CIA mendukung Sumatera Barat (waktu itu disebut Sumatera Tengah) dan memberikan AC (Air Cannon) secara gratis.

Air Cannon adalah meriam anti pesawat terbang buatan Amerika yang sangat mutakhir kala itu, diberikan dengan cara dijatuhkan dengan parasut dari pesawat terbang.

Ahmad Yani menyusun strategi untuk meredam pemberontakan Sumatera Barat di sebuah hotel di Muara Padang bersama tiga rekannya, dan menghujani kota Padang dengan bom-bom kelas berat dari laut. Seluruh kota bergetar. Sumatera Barat akhirnya menyerah kalah, karena Amerika menghentikan suplai senjata dan beralih membantu pasukan Ahmad Yani yang sangat kuat.

Di Indonesia, KGB dan CIA punya peranan yang aktif dan berbahaya. Rakyat Sumatera Barat dijadikan eksperimen negara-negara besar yang haus darah. Sejarah itu gila!

Salah satu departemen KGB yang ampuh adalah Dezynformatsiya atau Disinformasi, bertujuan memberikan informasi sesat untuk mengadu domba. KGB memberikan sebuah dokumen palsu yang berisi perbuatan tercela Amerika di Indonesia, sehingga Jakarta menjadi panas membara dan rusuh. KGB terkejut melihat hasilnya, karena semula hanya ingin menyentil, tapi malah menimbulkan perasaan anti-Amerika yang hebat dan kekacauan yang hebat pula. “Missi kita melebihi target,” kata Moskow gembira.

Dari sekian juta kegiatan mata-mata, KGB sempat juga merekrut mahasiswa Indonesia untuk menjadi mata-mata di Jepang. Namanya Maba Odantara. Ini rahasia KGB, tidak terungkap di Indonesia.

Sejarah Penghianatan founding fathers terhadap bangsa Indonesia



Sebelum ada TNI, sejak pra kemerdekaan hingga kemerdekaan, komponen-komponen pejuang terbagi dalam beberapa kelompok, yaitu Hisbullah, Peta (Pembela Tanah Air) dan Laskar-laskar.

Milisi Hisbullah merupakan campuran berbagai ormas Islam seperti Muhammadiyah, Masyumi, Syarikat Islam, dan NU.

Sedangkan milisi Peta (Pembela Tanah Air) mayoritasnya berasal dari Muhammadiyah, dimana Jenderal Besar Sudirman merupakan salah satu tokohnya.

Yang dimaksud dengan laskar-laskar, terdiri dari berbagai laskar seperti laskar minyak, laskar listrik, laskar pesindu, laskar pemuda sosialis dan laskar Kristen.


Umat Islam dan TNI
Laskar pemuda sosialis dan laskar kristen adalah minoritas. Sedangkan laskar minyak, listrik dan sejenisnya berasal dari komunitas sejenis bajing loncat yang insyaf dan membentuk kekuatan rakyat dan bergabung dengan Laskar mayoritas Hisbullah.

Pada 1946 terbentuk TKR (Tentara Keselamatan Rakyat) yang berasal dari ketiga komponen tersebut, dan Hisbullah merupakan unsur yang paling banyak (mayoritas).

Pada 1947, TKR menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia), di bawah pimpinan Panglima Besar Sudirman yang berasal dari Peta. Sebagai wakilnya adalah Urip Sumoharjo seorang mantan tentara KNIL (tentara Belanda) yang beragama Kristen.

Sejak saat itulah terjadi ketidak-adilan, dimana minoritas menguasai mayoritas di tubuh (embrio) TNI. Kelak, para pejuang sejati dari Hisbullah dan peta (terutama Hisbullah) digusur oleh mantan tentara KNIL. Selain Urip Sumohardjo (mantan KNIL beragama Kristen), mantan KNIL lainnya adalah Gatot Soebroto (Budha), Soeharto (Kejawen), dan A.H. Nasution (nasionalis sekuler yang keberislamannya tumbuh setelah digusur Soeharto).

Tentara KNIL adalah tentara Belanda yang memerangi tentara rakyat Indonesia yang ketika itu sedang berusaha menggapai kemerdekaan. Tentara KNIL adalah pengkhianat bangsa. Namun ketika Indonesia merdeka, merekalah yang merebut banyak posisi di tubuh institusi tentara (TNI). Sedangkan pejuang sejati terutama yang tergabung dalam Hisbullah disingkirkan begitu saja.

Terbukti kemudian, ketika para pengkhianat itu memimpin bangsa , kehidupan kita menjadi penuh musibah. Soekarno, ketika rakyat bersusah payah mengusir penjajah, ia justru membuat perjanjian damai dengan Belanda. Sedangkan anak angkat Gatot Soebroto termasuk salah seorang tokoh pemegang HPH yang menggunduli hutan kita.

Kahar Muzakar dan Kartosoewirjo
Pada tahun 1946 Kahar Muzakar (Panglima Hisbullah dari Sulawesi) dikirim ke Yogya (Ibukota RI) untuk menghimpun kekuatan rakyat. Saat itu Panglima Hisbullah Kalimantan adalah Hasan basri, yang berpusat di Banjarmasin. Sedangkan Panglima Nusatenggara adalah Ngurah Rai yang berpusat di Bali.


Sedangkan Kartosoewirjo adalah Panglima Hisbullah Jawa Barat. Ia terus berjuang melawan penjajah Belanda.
Pada 17 Januari tahun 1948, ketika terjadi Perjanjian Renville (di atas kapal Renville) daerah yang dikuasi rakyat Indonesai semakin kecil, karena daerah inclave harus dikosongkan. Kartosoewirjo tidak mau mengosongkan Jawa Barat, maka timbullah pemberontakan Kartosoewirjo tahun 1948 melawan Belanda.

Kala itu Kartosoewirjo selain harus menghadapi Belanda juga menghadapi mantan tentara KNIL yang sudah bergabung ke TRI yang kala itu mereka baru saja kembali dari Yogyakarta.

Kartosoewirjo yang berjuang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan Jawa Barat karena dia adalah Panglima Divisi Jawa Barat, justru dicap pemberontak oleh Soekarno, sehingga dihukum mati pada 1962.

Menurut Dr. Bambang Sulistomo, putra pahlawan kemerdekaan Bung Tomo, tuduhan pemberontak kepada Kartosoewirjo dinilai bertentangan dengan fakta sejarah.

"Menurut kesaksian almarhum ayah saya, yang ditulisnya dalam sebuah buku kecil berjudul HIMBAUAN, dikatakan bahwa pasukan Hizbullah dan Sabilillah, menolak perintah hijrah ke Yogyakarta sebagai pelaksanaan isi perjanjian Renvile; dan memilih berjuang dengan gagah berani mengusir penjajah dari wilayah Jawa Barat. Keberadaan mereka di sana adalah atas persetujuan Jenderal Soedirman dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pada saat clash Belanda kedua, pasukan TNI kembali ke Jawa Barat dan merasa lebih berhak menguasai wilayah yang telah berhasil direbut dengan berkuah darah dari tangan penjajah oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah di bawah komando SM Kartosoewirjo. Karena tidak dicapai kesepakatan, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Islam dan tentara republik tersebut…" (Lihat Buku "FAKTA Diskriminasi Rezim Soeharto Terhadap Umat Islam", 1998, hal. xviii).

Sehubungan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Deliar Noor berkomentar: "Kesaksian almarhum ayah saudara itu, persis seperti kesaksian Haji Agoes Salim yang disampaikan di Cornell University Amerika Serikat, tahun 1953. Memang perlu penelitian ulang terhadap sejarah yang ditulis sekarang…"

Pada buku berjudul "Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo" (Juli 1999, hal. xv-xvi), KH Firdaus AN menuliskan sebagai berikut:

"…Setelah perjanjian Renville ditandatangani antara Indonesia dan Belanda pada tanggal 17 Januari 1948, maka pasukan Siliwangi harus 'hijrah' dari Jawa Barat ke Yogyakarta, sehingga Jawa Barat dikuasai Belanda. Jelas perjanjian itu sangat merugikan Republik Indonesia. Waktu itu Jenderal Sudirman menyambut kedatangan pasukan Siliwangi di Stasiun Tugu Yogyakarta. Seorang wartawan Antara yang dipercaya sang Jendral diajak oleh beliau naik mobil sang Panglima TNI itu…."

"…Di atas mobil itulah sang wartawan bertanya kepada Jendral Sudirman: 'Apakah siasat ini tidak merugikan kita?' Pak Dirman menjawab, 'Saya telah menempatkan orang kita disana', seperti apa yang diceritakan oleh wartawan Antara itu kepada penulis.

"…Bung Tomo, bapak pahlawan pemberontak Surabaya, 10 November dan mantan menteri dalam negeri kabinet Burhanuddin Harahap, dalam sebuah buku kecil berjudul 'Himbauan', yang ditulis beliau pada tanggal 7 September 1977, mengatakan bahwa Pak Karto (Kartosuwiryo, pen.) telah mendapat restu dari Panglima Besar Sudirman…"

"…Dalam keterangan itu, jelaslah bahwa waktu meninggalkan Yogyakarta pada tahun 1948 sebelum pergi ke Jawa Barat, beliau (Kartosuwiryo) pamit dan minta restu kepada Panglima Besar TNI itu dan diberi restu seperti keterangan Bung Tomo tersebut.

Dikatakan dengan keterangan Jenderal Sudirman kepada wartawan Antara di atas tadi, maka orang dapat menduga bahwa yang dimaksud 'orang kita' atau orangnya Sudirman itu, tidak lain adalah Kartosuwiryo sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa waktu itu Kartosuwiryo adalah orang penting dalam Kementerian Pertahanan Republik Indonesia yang pernah ditawari menjadi Menteri Muda Pertahanan, tetapi ditolaknya. Jabatan Menteri Muda Pertahanan itu ternyata kemudian diduduki oleh sahabat beliau sendiri, Arudji Kartawinata. Dapatlah dimengerti, kenapa Panglima Besar Sudirman tidak memerintahkan untuk menumpas DI /TII; dan yang menumpasnya adalah Jenderal AH Nasution dan Ibrahim Adji. Alangkah banyaknya orang Islam yang mati terbunuh oleh Nasution dan Ibrahim Adji! Apakah itu bukan dosa…?"

Terbentuknya Kodam-kodam
Tahun 1950, TRI mereorganisasi membentuk divisi-divisi dalam bentuk TT (Tentara Teritorium yang merupakan embrio Kodam. Ini merupakan awal daripada AD (Angkatan Darat) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) berkuasa menguasai TRI melalui kodam-kodam (divisi-divisi).

Kala itu provinsi di Ind masih terdiri dari
1. Kalimantan, dengan ibukota Banjarmasin
2. Sulawesi,dengan ibukota Makassar
3. Sumatera Selatan, dengan ibukota Palembang
4. Sumatera Tengah, dengan ibukota Padang
5. Aceh, dengan ibukota Banda Aceh
6. Sunda Kecil (Bali, NTT, NTB), dengan ibukota Singaraja.

Pada Desember 1950 terjadi pengakuan kedaulatan RI. Dua bulan kemudian Jen. Sudirman meninggal, kepemimpinannya dilanjutkan oleh Urip Sumohardjo mantan tentara KNIL beragama Kristen. Sementara itu, Panglima Divisi Sulawesi, Kahar Muzakar yang ditugaskan ke Yogya utk menghimpun kekuatan rakyat di tahun 1946, jabatannya sebagai Panglima Divisi Sulawesi diisi oleh Gatot Subroto mantan KNIL beragama Budha yang anti Hisbullah.

Terjadi konflik antara Kahar dengan Gatot Subroto, sehingga diciptakan situasi yang merugikan/merusak citra Kahar (putra daerah), akibatnya Kahar melawan ketidakdilan dan ketidak benaran yang dihembuskan Gatot Subroto.

Tahun 59/60 Kahar dinyatakan terbunuh dalam pertempuran, tetapi jenazahnya tidak ditemukan. M. Jusuf pernah dikirim melawan Kahar, mengalami kekalahan namun bisa selamat kembali ke Jakarta.

Tidak semua divisi mengalami pergolakan. Di Kalimantan Selatan, Ibnu Hadjar menjadi Panglima KRJT (Kesatoean Rakjat Jang Tertindas). Institusi ini di bawah Panglima Divisi kalimantan yang panglimanya adalah Hasan Basri. Sedangkan Divisi Jawa Timur panglimanya adalah Jen. Sudirman (sebelum meninggal dunia).

Ketidak-adilan di dalam tubuh TRI semakin terasa ketika orang-orang dari Sulut yang beragama Kristen (dan mantan tentara KNIL) banyak menduduki jabatan penting, antara lain Kol. Kawilarang (menjabat panglima divisi Siliwangi), Kol. Ventje Sumual, dan sebagainya.

Apalagi kemudian AD memegang kendali pemerintahan, setelah Soekarno tumbang. Soeharto yang mantan KNIL dan penganut Kejawen, kemudian mengawali pemerintahannya dengan rasa benci yang mendalam terhadap Islam.

Sebelum era Benny Moerdani, Soeharto menempatkan orang-orangnya seperti Panggabean, Soedomo dan Ali Moertopo yang dengan baik memenuhi kemauan Soeharto.

Ali Moertopo sukses dengan proyek Komando Jihad. Kemudian Soedomo juga sukses dengan Kopkamtibnya "ngegebukin" umat Islam. Benny Moerdani sukses dengan proyek Imran/Woyla dan Tanjung Priok. Try Soetrisno sukses dengan proyek Lampung dan DOM Aceh, juga beberapa kasus seperti Haur Koneng, dan sebagainya.

Jenderal M. Jusuf (orang Makasar) sempat didudukkan sebagai Pangab, sebelum Benny. Ketika itu tekanan terhadap Islam agak mereda, perlakuan ala binatang terhadap Tapol dan Napol Islam, agak berkurang ketika Yusuf menjadi Pangab. Kesejahteraan prajurit pun membaik. Namun tidak banyak yang bisa ia lakukan. Meski dari Makasar ternyata Yusuf tidak semilitan Katholik abangan seperti Benny.

Di masa Benny, betapa sulitnya mendapatkan perwira Muslim yang menjabat Komandan Kodim. Semuanya Kristen, hanya satu-dua saja yang Budha atau Hindu. Pada umumnya Dandim adalah perwira Kopassandha (kini Kopassus). Untuk menjadi perwira Kopassandha, rangkaian testing dilakukan hari Jumat, sehingga prajurit yang masih loyal kepada agamanya, tidak bisa ikut test. Akibatnya, dari puluhan perwira Kopassandha kala itu, hanya satu yang Islam (abangan), dan satu Hindu atau Budha.

Penyingkiran secara sistematis ini sudah berlangsung sejak Panggabean, yang meneruskan tradisi Urip Soemohardjo dan Gatot Soebroto, sejak awal kemerdekaan terutama sejak wafatnya Jen. Soedirman.

Namun demikian untuk menghindarkan kesan diskriminatif, Benny merekrut juga pemuda-pemuda Islam menjadi tentara (bukan perwira Kopassandha). Tapi yang ia pilih yang tolol-tolol. Kalau ada pemuda Islam dari keluarga baik-baik (militan) kemudian cerdas, pasti dinyatakan tidak lulus testing dengan berbagai macam alasan.

Pemuda Islam tolol yang direkrut jadi tentara sebagian besar dikirim ke Timor Timur untuk menyetorkan nyawa. Ada diantara mereka yang selamat, seperti Ratono yang pernah terlibat kasus Priok. Ratono sampai kini masih hidup semata-mata karena keberuntungan, atau setidaknya Allah jadikan ia sebagai saksi hidup kebiadaban Benny dan para pendahulunya.

Tahun 1988 perseteruan Benny - Soeharto meruncing, terutama setelah rencana kudeta yang gagal dari Benny cs terhadap Soeharto, yang berakibat dicopotnya Benny dari jabatan Pangab dan digantikan Try.

Ketika Try menjabat Pangab (1989), Benny Moerdani kemudian menjabat Menhankam. Anehnya, Try masih melapor kepada Benny, padahal seharusnya ke presiden sebagai Pangti. Termasuk, laporan intelijen (ketika itu BAIS masih di bawah Pangab) Try Soetrisno selalu meneruskannya ke Benny.

Tahun 1992 Try dipensiunkan dan menduduki kursi Wapres berkat usaha gigih kalangan AD. Ketika itu sebenarnya Soeharto lebih condong ke Habibie, namun berkat fait accomply Harsudiono Hartas yang ketika itu menjabat Kassospol ABRI, akhirnya Try-lah yang baik mendampingi Soeharto selama lima tahun (hingga 1997).

Kursi Pangab kemudian diisi Eddy Sudrajat. Di masa Eddy inilah tekanan terhadap ummat Islam yang gencar dilakukan sejak Benny dan Try menjadi Pangab, agak mengendor. Bahkan kemudian di Mabes berdiri mesjid, sehingga para perwira dan prajurit bisa shalat Jum'at di Mabes.

Pada masa itu, Eddy Sudrajat sempat menjabat tiga jabatan sekaligus. Selain masih menjabat KASAD dan Panglima ABRI ia pun dilantik sebagai Menhankam. Semua jabatan itu satu per satu dilepaskan, kecuali Menhankam. Jabatan KASAD dilimpahkan ke Wismojo dan Panglima ABRI kepada Feisal Tanjung.

Di masa Feisal Tanjung, ummat Islam bisa bernafas lega. Tapol dan Napol banyak yang dibebaskan, meski masih terkesan takut-takut. Bahaya ekstrim kanan yang selalu dihembuskan sejak dulu, sirna dengan sendirinya. Bahkan, lulusan pesantren bisa masuk AKABRI ya cuma di masa Feisal Tanjung.

Sayangnya Feisal bersama Syarwan Hamid dituduh terlibat kasus 27 Juli, yang sebagian besar korbannya ya ummat Islam juga. Pada masa inilah muncul istilah ABRI hijau dengan konotasi negatif.

Setelah Feisal, Wiranto mendapat giliran menjadi Pangab. Wiranto semula adalah kader Benny. Karenanya, ketika ia naik menjadi KASAD kemudian Pangab, banyak juga yang waswas. Ketika Wiranto menjadi KASAD, perwira Muslim di lingkungan KASAD digeser dan digantikan dengan Hindu atau Budha.

Untung ada Prabowo. Sebenarnya Prabowo juga kader Benny, bahkan sejak ia masih Letnan. Namun akhirnya Prabowo melihat ketidak-adilan yang dibuat Benny, dan ia memberontak, sehingga jadilah Prabowo sebagai musuh nomor satu Benny. Kalau tidak ada Prabowo, mungkin sampai kini tidak ada yang bisa menjadi musuh Benny. Selain karena ia menantu Presiden, Prabowo juga banyak uang sehingga bisa menetralisir pengaruh "orang-orang Benny" di tubuh ABRI.

Meski Bowo jarang shalat, ia tetap saja dikategorikan sebagai ABRI hijau, mungkin karena keberpihakannya. Berkat tekanan dari Prabowo dkk akhirnya Wiranto tak berkutik. Bahkan belakangan ia ikut-ikutan menjadi ABRI hijau. Sebuah pilihan yang pragmatis.
Wiranto akhirnya bisa juga berteman dengan Abdul Qadir Djaelani, dan sebagainya. Dari sinilah lahir istilah aneh-aneh, seperti Pam Swakarsa, dan sebagainya, yang kesemuanya itu cuma membuat malu umat Islam.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa sejak dulu yang namanya tentara itu lebih banyak merugikan Islam. Kalau tidak memusuhi secara terang-terangan, maka ia berbaik-baik sambil memberikan stigma.

Seharusnya ummat Islam menjaga jarak yang pas dengan tentara. Jangan mau digebukin tetapi juga jangan sampai ditunggangi dengan alasan kerja sama sinergis.

Sialnya, masih ada saja diantara umat Islam yang mau ditunggangi tentara padahal dulu mereka sering digebukin. Rasanya, kemiskinanlah yang membuat mereka seperti itu.